Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta menyatakan rencana pemerintah memberikan kelonggaran aktifitas selama darurat Corona bagi warga yang berusia di bawah 45 tahun sebagaimana disampaikan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Doni Monardo usai rapat terbatas perkembangan penanganan Covid-19, Senin (11/5/2020), merupakan rencana yang gegabah dan berisiko membahayakan keselamatan rakyat.
“Saya tidak habis pikir, apa yang ada dibenak Pak Presiden dan jajarannya. Mengapa selalu keluar statemen yang membuat bingung masyarakat. Dulu pemerintah memilih berlakukan aturan PSBB yang membatasi kegiatan masyarakat dan juga batasi transportasi, tetapi dalam perjalanannya beberapa waktu yang lalu keluar statemen dari Menko Polhukam rencana melonggarkan PSBB, kemudian disusul statemen menteri perhubungan membuka kembali operasional moda transportasi. Masih belum selesai kebingungan masyarakat, Ketua Gugus Tugas sampaikan rencana longgarkan aktivitas bagi warga usia dibawah 45 tahun. Hari ini (12/5/2020) Presiden berstatemen pelonggaran PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Betapa hal ini semakin membingungkan, tidak jelas siapa yang jadi komando tertinggi dalam situasi krisis seperti ini. Ini semakin memperkuat dugaan pemerintah hingga hari ini tidak punya konsep untuk tangani Covid-19, tidak punya kriteria terhadap situasi yang dihadapi, tidak punya tolak ukur untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah dilakukan,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/5/2020).
Menurut Sukamta, jika mendasarkan data yang pernah disampaikan Jubir Gugus Tugas (1/5/2020) kasus meninggal positif Covid-19 paling banyak pada kelompok usia 30-59 tahun, hal ini berarti di Indonesia usia dibawah 45 tahun termasuk rawan. Tapi bisa saja pemerintah punya data-data yang menunjukkan usia 45 tahun ke bawah aman untuk berkaktivitas lagi, hanya data-data tersebut masih disimpan dan tidak dipublikasikan, ini yang menurut Sukamta statemen yang keluar jadi meragukan banyak pihak.
Menurutnya semestinya pemerintah sebelum membuat berbagai statemen yang mengarah kepada pelonggaran kebijakan PSBB, harus dilihat dulu seberapa jauh kebijakan yang selama ini diberlakukan mampu menekan perkembangan Covid-19.
“Setiap hari angka positif Covid-19 masih fluktuatif, bahkan pada Sabtu (9/5/2020) ada penambahan 533 kasus yang merupakan rekor sejauh ini. Sementara beberapa kali disampaikan oleh Jubir ada kendala di sejumlah laboratorium karena kehabisan reagen untuk melakukan tes swab. Jangan-jangan update angka Covid-19 yang naik turun selama ini karena persoalan keterbatasan jumlah tes yang bisa dilakukan. Jika ini yang terjadi, berarti angka-angka yang diumumkan tiap hari tidak bisa jadi ukuran keberhasilan kebijakan PSBB yang diberlakukan di sejumlah daerah. Jadi kalau mau longgarkan kebijakan ini apa dasarnya,” ujarnya mempertanyakan.
Menurut Anggota DPR RI asal Yogyakarta ini jika yang jadi alasan pelonggaran karena pertimbangan ekonomi, hal ini malah akan bisa jadi bumerang yang kerugiannya bisa lebih besar baik secara kesehatan, sosial dan ekonomi.
“Kita lihat dengan perjalanan pemerintah tangani Covid-19 selama lebih dari 2 bulan ini yang belum menunjukkan kemajuan, kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah banyak yang terpukul. Kalau kemudian pemerintah serampangan ambil kebijakan melonggarkan PSBB kemudian terjadi ledakan kasus positif Covid-19, apakah jumlah sarpras rumah sakit sudah siap? APD saja sampai saat ini masih kesulitan. Dan biaya menangani ledakan orang sakit akan jauh lebih besar dibanding upaya pencegahan. Penanganan Covid-19 yang berlarut-larut imbasnya juga akan memperburuk kondisi ekonomi, sektor pariwisata dipastkan akan tetap mandeg, pendidikan tidak kunjung berjalan normal. Kerugian secara sosial ekonomi akan melonjak, sangat berat konsekuensinya,” tuturnya.
Menurut Sukamta, yang pertama harus lebih dulu dibenahi adalah sistem komando pemerintah yang selama ini membingungkan masyarakat. Terlihat Gugus Tugas yang dibentuk sejak awal oleh Presiden, ternyata malah dibuat bingung oleh kebijakan yang simpang siur di kementerian. Kedua, pemerintah perlu segera memperjelas grand desain penanganan Covid-19, yang didalamnya memuat kriteria, tahapan, ukuran dan protokol yang jelas. Kesemuanya disusun berdasarkan data-data yang terukur secara sains yang dihasilkan oleh para ahli di bidangnya. Ketiga, pemerintah harus disiplin dengan langkah-langkah yang dibuat dan dievaluasi secara berkala berdasar kriteria dan ukuran yang telah ditetapkan.
“Jangan sampai masyarakat diminta untuk disiplin tetapi pemerintah sendiri tidak mampu disiplin. Jangan sampai karena hanya mengejar keuntungan ekonomi sesaat membuat plin plan dalam kebijakan. Keselamatan rakyat harus jadi prioritas paling utama,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby