Jakarta, JurnalBabel.com – Wacana hukuman mati bagi koruptor bukan hal yang baru dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sudah diatur dengan jelas tentang pidana mati bagi koruptor.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Lalu Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Demikian dikatakan oleh anggota komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menanggapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD
mewacanakan hukuman mati bagi koruptor dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.
Mahfud MD mewacanakan hal itu karena ia menilai UU Tipikor ruang lingkupnya yang masih terbatas. Hukuman mati dalam kasus korupsi baru bisa diterapkan kepada terpidana yang membuat kerugian negara saat terjadinya krisis dan dalam keadaan darurat bencana. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
“Siapa bilang tidak jelas dan tidak tegas? Sangat jelas diatur bahwa koruptor dapat dijatuhi hukuman mati bila dilakukan dalam kondisi-kondisi tententu seperti saat negara dalam bahaya, saat bencana alam, dilakukan berulang kali dan saat negara krisia ekonomi dan moneter,” ujar Didik Mukrianto saat dihubungi di Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Mahfud MD mewacanakan hal itu juga merespon Presiden Jokowi mewacanakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Menurut Jokowi, hukuman mati bisa diterapkan jika memang dikehendaki oleh masyarakat.
Didik menilai pernyataan Jokowi tersebut bahwa “Bagi pemimpin bangsa, memahami konstitusi dan UU secara utuh itu menjadi sangat penting, agar tidak gagap dan memahami apa yang diucapkan. Bicara kebijakan dan politik hukum, tidak seharusnya pemimpin bangsa hanya mendasarkan kepada emosional publik, harus ada dasar dan pertimbangan rasionalnya secara bijak,” kata Didik.
Seharusnya Diatur dalam UU KPK
Lebih lanjut mantan Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR mengatakan bahwa seandainya Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menginginkan adanya perubahan politik hukum hukuman mati terhadap koruptor secara keseluruhan, seharusnya dituangkan dalam perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang lalu, untuk bisa dibahas dalam proses legislasi bersama DPR.
“Sebaiknya pemimpin bangsa hati-hati dan bijak merespon pertanyaan, pahami politik hukumnya, pahami undang-undangnya agar kebijakannya proper, dan bukan atas dasar taste atau rasa emosional,” kata Didik menegaskan.
Legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur ini menambahkan bahwa kalau memang Presiden menginginkan adanya perubahan politik hukum dan memberlakukan hukuman mati secara umum terhadap koruptor, yang terbaik dan konkrit adalah mengajukan perubahan UU Tipikor.
“Kita tunggu, benar tidak niatan dan keinginan Presiden? Simple saja, Pemerintah tinggal mengajukan perubahan UU melalui prolegnas usulan pemerintah, bukan seperti usulan Pak Mahfud untuk memasukkan dalam KUHP. Karena KUHP hanya mengatur Core Crime-nya untuk UU Khusus seperti KPK,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mewacanakan hukuman mati bagi koruptor dimasukkan dalam RKUHP yang sudah masuk dalam Prolegnas prioritas 2020.
Hal itu disampaikan Mahfud saat merespon Presiden Jokowi mewacanakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman mati bisa diterapkan jika memang dikehendaki oleh masyarakat.
Mahfud MD mengakui bahwa aturan hukuman mati telah ada dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), namun memang ruang lingkupnya yang masih terbatas.
Hukuman mati dalam kasus korupsi baru bisa diterapkan kepada terpidana yang membuat kerugian negara saat terjadinya krisis dan dalam keadaan darurat bencana. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
Mahfud mengatakan dalam RKUHP direncanakan akan mengatur tentang hukuman mati, tetapi tidak terbatas pada korupsi saja. Khusus untuk kasus korupsi, menurut Mahfud hukuman mati tentu akan disesuaikan salah satunya melihat besarnya uang yang dikorupsi.
Hukuman mati dalam kasus korupsi baru bisa diterapkan kepada terpidana yang membuat kerugian negara saat terjadinya krisis dan dalam keadaan darurat bencana. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
Mahfud mengatakan dalam RKUHP direncanakan akan mengatur tentang hukuman mati, tetapi tidak terbatas pada korupsi saja. Khusus untuk kasus korupsi, menurut Mahfud hukuman mati tentu akan disesuaikan salah satunya melihat besarnya uang yang dikorupsi. (Bie)
Editor: Bobby