Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi X DPR, Himmatul Aliyah, menyayangkan kebijakan akademik Universitas Indonesia (UI) yang melarang mahasiswa berpolitik melalui pakta integritas bagi mahasiswa baru. Kebijakan ini menurut Himmatul menjadi momok jelek bagi kampus ternama seperti UI.
Politikus Gerindra ini menuturkan, kebijakan perguruan tinggi baik internal atau eksternal tetap akan jadi konsumsi publik mengingat keterbukaan informasi saat ini. Apalagi kata dia, pengguna dari pakta integritas itu adalah mahasiwa yang notabene bagian dari rakyat Indonesia.
“PT (Perguruan Tinggi, red) jangan membuat gaduh dalam mengeluarkan kebijakan yang memaksakan kehendak yang tidak berdasarkan aturan tertinggi di negara kita yaitu UUD 1945,” kata Himmatul saat dihubungi, Rabu (16/9/2020).
Pakta Integritas yang belakangan disebut pihak UI sebagai dokumen tidak resmi mewajibkan mahasiwa baru untuk mematuhi sejumlah ketentuan. Di antara poin yang menyulut kontroversi adalah larangan mahasiswa terlibat dalam politik praktis. Jika mahasiswa melanggar pakta integritas itu, konsekuensinya bisa terkena sanksi pemberhentian.
Menurut Himmatul, poin itu bisa mengganggu tatanan akademis dan kehidupan bernegara. Apalagi diketahui pelarangan tersebut diikuti dengan pelarangan tentang membuat kaderisasi/orientasi/studi/latihan/pertemuan bagi kelompok atau organisasi kemahasiswaan tanpa seizin kampus.
Lebih lanjut Himmatul menerangkan, frasa “politik praktis” berpotensi menjadi aturan karet yang mengekang hak politik mahasiswa. Mahasiswa yang berunjuk rasa karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, misalnya, dapat dianggap menjalankan politik praktis sehingga bisa memperoleh sanksi dari kampus.
Larangan ini mengingatkan kejadian di masa lalu di mana kampus dibersihkan dari gerakan politik mahasiswa pasca-peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Saat itu, pemerintah Orde Baru membungkam suara mahasiswa melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kampus (BKK).
Dengan kebijakan tersebut, pemerintah membubarkan senat mahasiswa dan dewan mahasiswa di kampus-kampus di seluruh Indonesia dan melumpuhkan kegiatan politik mahasiswa.
“Bila mahasiswa/i dilarang ikut dalam perpolitikan maka Indonesia akan kehilangan tunas-tunas dan generasi berkualitas yang akan melanjutkan keberlangsungan perpolitikan di tanah air, mengingat politik sangat penting dalam peran pengambilan kebijakan negara,” jelas Himmatul.
Kendati begitu, Himmatul sepakat bahwa mahasiswa tetap tak boleh membawa kegiatan politik ke dalam lingkungan kampus. Namun, jika kegiatan tersebut dilakukan di luar kampus, Himmatul mengatakan hal itu tidak menjadi masalah.
“Kalau kegiatan dan aksi politik di lingkungan kampus bisa saja direm, tapi kalau di luar kampus adalah hak asasi mahasiswa sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang dijamin dalam UUD 45 Pasal 28 mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul juga berpendapat,” terangnya.
Legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta II ini meminta pihak akademik perguruan tinggi tidak menggunakan status mahasiswa sebagai dalih pelarangan kegiataan politik kaum pelajar. Menurutnya, pengekangan seperti itu malah membuat mahasiswa di kemudian hari menjadi antipati terhadap politik.
“Kalau kaum intelektual dibatasi politik sejak dini hasilnya banyak politisi yang tidak berkualitas pemikiran sehingga kontribusinya dalam membangun bangsa tidak maksimal,” pungkasnya.
(Bie)