Jakarta, JURNALBABEL – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan, tradisi membaca atau literasi yang baik, akan melahirkan masyarakat yang berkarakter, cerdas dan kritis. Sebaliknya, ketika literasi rendah maka masyarakat gampang diprovokasi dan dijajah.
“Saya ini orang kampung. Walau dulu membaca di kampung hanya pakai pelita , tetapi literisasi yang kuat jadi modal kuat bagi saya berkompetisi di Jakarta. Tradisi membaca dengan kuat itulah modal yang aku miliki ,” kata Fahri kepada wartawan, Selasa (12/2/2019).
Dahulu, sambung Fahri, orang membaca buku ada pengantar, pendahuluan, isi dan kesimpulan namun saat ini muncul tradisi menulis pendek melalui media sosial. Menurut dia, tradisi menulis pendek itu akan melahirkan manusia berpikiran pendek, tidak mengerti bagaimana melahirkan sitesa dan memunculkan kesimpulan sehingga tidak ada alur diskusi dan dialektika yang baik.
Karena itu dia mengkritisi kurangnya dukungan dari pemerintah melalui arah kebijakan turut merendahkan budaya literasi di masyarakat. Menurut Fahri, salah satu yang menghambat munculnya budaya literasi adalah pelarangan buku dan tidak adanya contoh dari pemerintah bagaimana membudayakan membaca di masyarakat.
“Bagaimana mau mengkampanyekan literasi kalau konsepnya saja tidak ada. Itu yang membuat kita sulit. Kegandrungan nasional akan literasi masih rendah, lalu sekarang ditambah dengan hilangnya buku,” tambah Fahri.
Kondisi ini, pun , menurut politikus PKS diperparah dengan munculnya upaya kriminalisasi terhadap seorang yang menuliskan gagasannya dalam tradisi teks pendek dengan dikenakan pasal pidana dalam UU ITE.
“Padahal UU ITE harusnya digunakan untuk administrasi ekonomi dan seharusnya, pemerintah menyadarkan masyarakat untuk kembali kepada tradisi literasi misalnya buku apa yang harus dibaca masyarakat seperti menggandrungi teks lama dan membaca sejarah secara utuh,” harapnya.
Fahri berpendapat pemimpin bangsa seharusnya mengambil posisi penting dalam tradisi literasi yaitu berbicara secara lantang terkait arah bangsa dan mengirimkannya sinyal tersebut kepada bangsa lain.
“Soekarno ketika di dalam penjara dan dipengasingan di Bengkulu, Ende dan Bandung, mampu mengirimkan sinyal kepada bangsa lain. Kita butuh pemimpin ‘raksasa’ dalam ide dan pemikiran yang memukau dunia,”tegasnya. (Joy)
Editor: Bobby