Martin da Silva, Pr (Pengajar di SMAK Seminari Mario John Boen Pangkalpinang)
USAHA pemerintah mempromosikan merdeka belajar yang diikuti berbagai kebijakan memberi pesan dan kesan kuat pada masyarakat bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat belajar.
Kebijakan itu dapat dilihat dari sepuluh episode transformasi pendidikan Indonesia dalam merdeka belajar. Dimulai dengan menghapus ujian sekolah berstandar nasional, pembukaan program studi baru, penyaluran BOS langsung ke rekening sekolah, organisasi penggerak, guru penggerak, transformasi dana pemerintah untuk pendidikan tinggi, sekolah penggerak, SMK pusat keunggulan, KIP kuliah merdeka, hingga perluasan program beasiswa Lembaga Pengeloaan Dana Pendidikan (LPDP).
Sepuluh episode dalam merdeka belajar tersebut tanpa disadari mendorong masyarakat makin percaya diri menaruh kepercayaan masa depannya pada sekolah. Tentu keyakinan ini tidak salah dan patut diapresiasi. Kita patut angkat topi. Hanya saja perlu diwaspadai bahwa keyakinan tersebut bisa merekonstruksi kesadaran masyarakat bahwa sekolah merupakan satu-satunya ruang belajar. Akibat kronisnya, setiap orang akan sulit menerima seseorang belajar di luar sekolah normal. Ini memilukan karena belajar bisa kapan dan di mana saja.
Akibat kronis tersebut, diperkuat dengan fenomena zaman ini bahwa budaya belajar di sekolah cenderung mengamputasi dan mencaplok peranan keluarga dalam mendidik. Orang tua beramai-ramai menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya di sekolah.
Sekolah sengaja digemukan pemerintah dengan berbagai kebijakan dana sedangkan di luar sekolah dibiarkan kurus kerempeng. Pemahaman sebagian masyarakat yang menaruh kepercayaan masa depannya pada sekolah perlu diluruskan karena sekolah bukan satu-satu tempat belajar. Barangkali terlalu lebai mengkondisikan sekolah seperti candu bagi masyarakat.
Meluruskan Pemahaman
Masyarakat wajib diberi pengertian dan kesadaran bahwa roh pendidikan bukanlah bersekolah namun belajar (learning). Belajar untuk mencari tahu dan menjawab segala keraguan dan kebenaran dari fenomena-fenomena yang diamati.
Barangkali sebagian masyarakat yang masih gagal paham membedakan dua aktivitas tersebut. Sekolah memberi magnet yang kuat pada masyarakat sebagai satu-satunya tempat belajar. Apalagi dibumbui dengan nama sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah internasional, sekolah nasional plus dan lain-lain. Masyarakat terhipnotis dengan predikat yang melekat pada sekolah-sekolah tersebut.
Orang tua pun berbondong-bondong membawa anaknya menempuh pendidikan di sekolah. Akibatnya, sekolah menjadi tempat yang bisa dimanfaatkan menunjukan style, trendy, modis, dan elegan peserta didik. Sekolah pun masuk dalam kategori yang mendongkrak status sosial seseorang. Sekolah seperti panggung pertunjukkan sehingga mahal dan jauh pun, diusahakan untuk masuk.
Sangat perlu dibangun kesadaran pada peserta didik bahwa sesungguhnya belajar bisa kapan dan dimana saja tempatnya. Candu akan sekolah dan kekeliruan cara pandang sebagian masyarakat tersebut, perlu dicerahkan dan diluruskan sehingga sekolah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya tempat belajar melainkan salah satu dari sekian banyak jejaring belajar (learning webs).
Membangun Kesadaran
Kritik akan pandangan masyarakat terhadap dominasi sekolah dalam pendidikan sudah dilakukan oleh seorang imam katolik, yaitu Ivan IIlich dalam buku Deschooling Society (1970).
Buku ini berisi tulisan-tulisan yang disajikan dalam Center of Intercultural Documentation (CIDOC). Buah-buah pikiran dalam tulisan tersebut tajam, sarkas, dan sangat subversive bertolak dari kenyataan masyarakat di Amerika Latin.
Dia mengkritisi sekolah modern yang pada zamannya menjadikan sekolah seperti tempat penitipan anak, seleksi, indoktrinasi, dan tempat belajar. Inilah sejatinya masalah laten keberadaan sekolah pada zamannya.
Menurut Ivan IIlich, sekolah harus dilucuti kemapanannya sebagai satu-satunya tempat belajar. Artinya, sekolah harus dikurangi peranannya sebagai ruang belajar. Dalam nada yang gusar, ia mengatakan, “sekolah membentuk manusia untuk masa depan, tapi tidak meloloskan manusia untuk masa depan. Sekolah menawarkan pendidikan untuk hidup namun bukan dalam pendidikan sehari-hari”.
Baginya, tujuan pendidikan adalah kebebasan. Membebaskan seseorang untuk memperoleh sumber belajar, membebaskan individu untuk membagikan keterampilannya dan menjamin kebebasan mengajar, membebaskan masing-masing pribadi untuk tidak berharap pada jasa profesi manapun, menjamin adanya saran dan kritik tentang pendidikan.
Perlu disadari, kritikan Ivan Illich ini bukan untuk sekolah sebagai bangunan atau gedung namun dalam proses pembelajaran. Peserta didik perlu dibangunkan dari tidurnya bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar melainkan salah satu jejaring belajar yang memberikan kebebasan pada peserta didik untuk menggali potensi.
Dengan demikian, masyarakat perlu diberi kesadaran bahwa yang terpenting dalam belajar adalah jejaring belajar yang luwes, renyah, menyenangkan, santuy, bersahabat, tanpa diskriminatif baik non formal maupun informal.
Sekolah hanyalah salah satu dari jejaring belajar dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, pemerintah menguras pikiran, tenaga dan dana hanya untuk mengotak atik kurikulum, rasa-rasanya kurang tepat dan kurang adil. Masih banyak jejaring belajar lain tentu membutuhkan juga perhatian dari pemerintah.
Berbagai Jejaring Belajar
Sudah ditekankan di atas bahwa sekolah hanyalah satu dari berbagai jejaring belajar yang mendapat perhatian luar biasa pemerintah Indonesia. Bila demikian, apa saja jejaring belajar yang lain? Jejaring belajar lain dapat ditemukan di perpustakaan jalanan, bengkel, rumah sakit, klinik, panti jompo, gor olahraga, kendaraan, museum, cafe, penjara, pastoran, biara, rumah-rumah ibadah, tokoh, studio, penerbit, percetakan, restoran, dapur, koperasi, bank, terminal, tempat penyiaran, kebun, tempat pengolahan sampah, dan lain sebagainya.
Apa yang dipaparkan tersebut merupakan berbagai jejaringan belajar yang boleh digunakan untuk belajar seperti sekolah. Akan tetapi, jejaring belajar yang pertama dan utama adalah keluarga. Keluarga adalah rumah yang paling bertanggungjawab dalam pendidikan. Peranannya tergerus dan dicaplok aktivitas sekolah formal yang memiliki landasan hukum kuat.
Sayangnya, kebijakan pemerintah untuk pendidikan di keluarga sangat minim dibandingkan dengan sekolah. Justeru yang memberi perhatian pada pendidikan anak di tengah keluarga cenderung berasal dari agama-agama.
Seperti ada kesan tanggung jawab pendidikan di keluarga sengaja dilemparkan pada agama. Pada tahun-tahun akan datang bila pendidikan keluarga yang dimotori agama berjalan optimal dan maksimal, sekolah-sekolah bisa saja tidak lagi menjadi pilihan dalam pendidikan. Apalagi jaringan-jaringan internet makin ke sini merontokkan gedung sekolah yang mewah.
Banyak referensi pelajaran yang tersaji di internet dan bisa diakses tanpa harus di sekolah. Sekolah bisa saja berubah menjadi museum dan dinosaurus di zaman serba canggih ini. Oleh karena itu, pemerintah memikirkan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lapangan kerja jauh lebih konkrit dari sekedar gonta ganti kurikulum. Tentu dengan blue print yang jelas, terarah, dan terukur.
Mempertaruhkan Masa Depan
Ketika sekolah dikondisikan lebih berkharisma membina intelektual dan karakter peserta didik, tempat pendidikan yang berdampak adalah keluarga. Seluruh peranan pendidikan dipindahkan ke sekolah.
Akibatnya, belajar di rumah dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting. Rumah hanya sebagai tempat istirahat dari kepenatan sekolah. Bahkan seseorang yang banyak memiliki waktu di rumah dianggap sebagai orang rumahan. Sekolah telah merampas fungsi edukatif keluarga di rumah.
Untuk itu, bentuk-bentuk beasiswa apa pun yang selama ini diperuntukan untuk perorangan boleh diganti peruntukannya untuk keluarga yang kurang mampu. Baragkali ada celah penyalagunaan beasiswa tersebut. Untuk kasus ini, bisa ditempuh kebijakan-kebijakan yang lebih transparan. Dengan perubahan intensi beasiswa demikian, keluarga akan merasa pelan-pelan dipulihkan peranannya dalam pendidikan yang selama ini dicaplok dan tersingkir karena dominasi sekolah. Kebijakan ini tentu tidak mudah karena butuh blue print yang jelas, terjangkau, dan terukur.
Mungkin dengan cara ini, bangsa kita meletakan dasar mengembalikan ke rumah seluruh proses pendidikan karakter. Agar pelan-pelan anak-anak tidak lagi menaruh masa depan pada sekolah melainkan menaruhnya pada keluarga. Mari bersama-sama mempromosikan pendidikan dengan gerakan kembali ke rumah. Kembali menaruhkan kepercayaan masa depan pada keluarga bukan pada sekolah. Jika demikian, bagaimana dengan sekolah?
Kesempatan Berefleksi
Metode refleksi wajib menjadi budaya untuk semua elemen di sekolah. Termasuk merefleksikan bahwa segala kebijakan dan fasilitas di sekolah telah mencaplok peranan edukasi peserta didik di tengah keluarga. Ini fakta yang tidak bisa kita tutup mata. Padahal intensitas perjumpaan peserta didik lebih lama di keluarga ketimbang sekolah.
Hasil dari refleksi tersebut perlu merumuskan rekomandasi untuk menata kembali hubungan antara sekolah dengan keluarga. Hubungan yang bukan seperti terjadi di tempat penitipan anak namun hubungan mendalam, terlibat dan memberdayakan. Hubungan terikat yang membangun bukan menghancurkan salah satu pihak.
Untuk cita-cita peserta didik kembalikan kepercayaan kepada keluarga karena mereka punya referensi dan pilihan berdasarkan apa yang mereka lihat di tengah-tengah keluarga.
Sebab, sekolah hanyalah satu bagian dari jejaring di bumi ini. Masih banyak jejaring belajar lain untuk peserta didik belajar dengan merdeka, enjoy, santuy, menyenangkan, dan bermakna.