Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo sudah membentuk kabinet Indonesia maju hari ini. Ada penilaian positif maupun negatif dari kabinet baru ini. Khususnya di bidang hukum yang di isi oleh orang-orang baru yang berkompeten maupun orang-orang di kabinet pemerintahan Jokowi sebelumnya.
Banyak harapan ditunjukan pada kabinet Indonesia maju ini di bidang hukum. Pasalnya, pada periode pertama pemerintahan Jokowi di bidang penegakan hukum bermasalah. Mulai dari tumpamg tindihnya regulasi sehingga menghambat investasi, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi, begitu juga menteri terjerat, kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan dan masih banyak lagi kasus hukum lainnya.
Harapan perubahan lebih baik dari sisi penegakan hukum kini berada pada orang-orang yang menempati jabatan di bidang hukum pada kabinet tersebut. Diantaranya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan oleh Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanudin dan Kapolri baru pengganti Tito Karnavian, Kabareskrim Idham Azis yang sudah diajukan ke DPR untuk di fit and proper test.
Ahli hukum pidana, Suparji Achmad, mengapreasi pembentukan kabinet Indonesia maju. Pasalnya, kata dia, ada harapan baru ke depannya pada penegakan hukum itu lebih baik dari periode pemerintahan Jokowi sebelumnya. Ia pun memaparkan sekaligus memprediksi berbagai hal penegakan hukum pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Pertama, menuntaskan kasus-kasus beban masa lalu. Seperti UU yang menimbulkan kontroversi di masyarakat yakni UU KPK, UU KUHP, UU Pemasyarakatan, kasus Novel Baswedan dan lainnya.
Khususnya Kapolri yang baru nanti pengganti Tito Karnavian bisa menuntaskan kasus Novel Baswedan. Begitu juga Jaksa Agung yang kini berasal dari internal Kejaksaan bisa bekerja profesional dalam menggunakan hukum dan utamanya tidak menjadikan instrumen politik di dalamnya.
“Setidak-tidaknya beban masa lalu segera diselesaikan dan harus ada inovasi. Lebih cepat, adil, tidak membebani negara, tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Tidak membuat statment narasi-narasi yang tidak ada relevansinya,” kata Suparji Achmad di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Presiden Jokowi juga berpesan kepada pembantu itu bahwa menteri-menteri itu harus menanggalkan berbagai kepentingan. Tetapi harus utamakan kepentingan presiden dan wakil presiden. Menurut Suparji, kepentingan publik dna negara yang harus diutamakan. Bukan kepentingan presiden dan wakil presiden.
Apabila dalam kabinet Indonesia maju ini, banyak menteri yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai. Seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dijabat oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Menteri Pertahanan oleh Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas oleh Suharso Monoarfa yang juga Plt Ketua Umum PPP.
Pada akhirnya, kepentingan politik ada di dalamnya. Misalnya kepentingan Pilkada serentak 2020, Pemilu 2024 dan lainnya. “Itu tidak boleh dilakukan. Setiap perubahan itu ada sedikit harapan,” tegasnya.
Terkait jabatan Menkumham yang kembali dijabat oleh Yasonna Laoly, padahal pada periode pertama pemerintahan Jokowi, dinilai gagal dalam penegakan hukum. Misalnya, UU tumpang tindih, over capacity lapas, narapidana bebas keluar masuk tahanan, peredaran narkoba di dalam lapas dan lainnya, dinilai Suparji bukan suatu blunder Jokowi kembali memilihnya. Pasalnya, kata dia, Yasonna memiliki pengalaman di bidang hukum dan backup politik yang kuat, menjadi suatu tantangan bagi Yasonna untuk tidak mengulangi kesalahannya.
“Maju mundur pengesahan UU yang disetujui ditarik kembali. Tidak boleh lagi terjadi. Jadi bukan sekedar retorika, itu yang kita tunggu,” ujarnya.
Terkait pemberantasan korupsi, Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini memprediksi di pemerintahan periode kedua Jokowi ini berpotensi semakin terbuka lebar. Pasalnya, politik berbiaya mahal masih diterapkan di Indonesia. Selanjutnya oligarki politik juga kian marak. Apabila dengan berlakunya UU KPK yang baru, dimana kewenangan lembaga anti rasuah itu menjadi tidak progresif.
“Itu potensi korupsi terbuka lebar. Ini tantangan. Bakal terjadi lagi proyek-proyek bermasalah,” katanya.
Sebab itu, Suparji meminta DPR sebagai mitra kerja pemerintah, utamanya komisi yang membidangi masalah hukum, harus benar-benar mengawasinya. “Meski kita agak pesimis dengan fungsi pengawasan DPR, harus serius mengawasinya. Begitu juga anggaran harus realistis,” tuturnya.
Suparji kembali menegaskan kasus-kasus masa lalu terkait masalah hukum harus diprioritaskan untuk dituntaskan. Seperti UU KPK ini dikeluarkan Perppu atau diajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi atau kembali dilakukan revisi pada periode anggota DPR yang baru. “UU KPK, RKUHP, kasus Novel Baswedan, itu menurut saya prioritas utama untul dituntaskan,” pungkasnya. (Joy)
Editor: Bobby