Potret kinerja dan kebijakan pemerintahan di saat bencana nasional ini yang terlihat dengan panggung sendiri sendiri, malah ada suatu kebijakan yang tidak dapat dioperasionalkan, tidak saling klik menuju satu koordinasi tujuan dan termasuk pula perilaku di ruang publik pada umumnya terjadi karena kekeliruan yang berulang. Kekeliruan itu juga dimulai dari kekeliruan sebelumnya dan begitu pula seterusnya.
Kita ini menggunakan sistem demokrasi. Secara konseptual bagus, hanya pada tataran implementatif kurang bagus. Penyimpangan itu, lagi -lagi karena kekeliruan yang mendahuluinya, seolah begitu nyaman menerapkan kekeliruan.
Yaitu kesadaran yang bertanggung jawab dan rasa memiliki bangsa semakin terkikis ditambah lagi pada umumnya budaya masyarakat ini terlalu menghargai harta dan bukan ilmu. Bahkan sekolah juga dikaitkan dengan keinginan bergaji besar, seolah jadi kepentingan pragmatis semata maka orang yang kaya harta itulah yang dihargai dan bukan orang berilmu.
Sehingga ketika demokrasi dikembangkan, ternyata ketika bersaing yang menang bukan orang pintar dan bukan orang shaleh, tapi “orang kaya harta”, yang punya modal financial yang kuat.
Sekarang ini negara ini bukan dikuasai oleh orang arif dan pintar, tapi orang yang kaya harta. Siapa yang kaya, merekalah yang akan berkuasa ,sudah lazim diketahui pada umumnya namun tetap ada pengecualian, jangankan untuk menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, DPR, jabatan publik tertentu dan seterusnya, sedangkan ingin menjadi kepala desa saja harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah.
Bangsa ini bukan bangsa yang menjalankan demokrasi, melainkan bangsa yang diwarnai oleh suasana tukar menukar jasa, dikenal dengan transaksional. Siapa saja yang ikutan bayar itulah yang dapat jabatan. Akhirnya pejabatnya bukan orang yang bisa mensinkronkan program guna mensejahterakan rakyat, tapi orang yang berpikir sibuk mencari kembalian modal yang telah dibayar duluan dan bertahan dengan jabatannya.
Sejak beberapa waktu lalu bahkan sampai sekarang, kita masih dan sedang menyaksikan “permainan” para pejabat di berbagai lapisan yang sedang cari balikan modal plus keuntungan. Zamannya kini adalah zaman transaksi, zaman perdagangan, dan bahkan zaman makelaran.
Suasananya persis di pasar, pasar ayam, pasar kambing, Semua orang cari uang, cari selisih untung, bukan lagi cari kemuliaan, keberkahan,kebaikan dan keagungan sebagaimana sumpah jabatannya bahkan kadang kita sampai lelah melihat perilaku elit kekuasaan yang masih tanpa rasa malu untuk korupsi.
Apa mau dikata, keadaan sudah begini parah. Yang sakit bukan tubuhnya, tetapi adalah hatinya, (jiwanya) maka dalam lirik lagu Indonesia memanggil bangunlah jiwanya, bila boleh lebih jauh lagi mengetuk kesadaran bagi yang beragama, suatu saat nanti yang dipanggil Tuhan untuk kembali dengan panggilan “jiwa yang tenang”, bagaimama mau tenang, kalau dalam hidupnya, dalam jabatannya mengambil hak orang lain? Korupsi? Tidak amanah? Apalagi jika kebijakan ,keputusan, program diambil untuk kepentingan sektoralnya, hanya melaksanakan rutinitas hambar tanpa makna dan bukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat banyak.
Maka mari hentikan kekeliruan ini dengan segera, sadar dan bangkitlah.
Pejabat dan rakyat punya peluang yang sama untuk berkontribusi nyata pada bangsa sesuai peran dan kapasitas masing-masing, kembali pada cita dan tujuan bangsa, mari menyebarkan kebaikan, mengisi kemerdekaan, memantulkan daya hidup bangsa dipentas kehidupan kemanusiaan demi kepentingan masyarakat luas dan kepentingan jangka panjang sebagaimana tujuan bangsa.
Maka jangan lagi melazimkan kekeliruan, dan menumpuk kekeliruan menjadi “Kekeliruan Kronis”.
Semoga catatan kecil ini bermanfaat, terutama guna mengingatkan diri penulis yang banyak salah dan kurangnya.
Penulis: Azmi Syahputra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta