Jakarta, JurnalBabel.com – Kebijakan kenaikan tiket masuk Candi Borobudur sebesar Rp 750 ribu yang disampaikan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasti (Marves) Luhut Binsar Panjaitan dinilai sebagai keputusan yang terburu-buru dan tanpa kajian yang menyeluruh.
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, mengatakan apa yang disampaikan Luhut terkait Candi Borobudur menimbulkan kegaduhan publik karena pemerintah membuat suatu pernyataan atau kebijakan terburu buru, yang dasar hukumnya tanpa kajian.
Azmi berpendapat jika memperhatikan pasal 72 dan 73 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, untuk tujuan perlindungan cagar budaya memang diberikan wewenang untuk pengaturan zonasi. Namun demikian, kata Azmi perlu persyaratan berupa kajian terlebih dahulu.
“Harus terbuka bagaimana konsep dan tujuannya apa? Apa ada rencana revitalisasikah? Ada perubahan kah? Ini perlu diinformasikan kepada publik,” kata Azmi Syahputra, Selasa (7/6/2022).
Lebih lanjut Azmi menjelaskan, jika zonasi dikunci syarat yang sifatnya imperatif sebagaimana diatur dalam pasal 73 ayat 4, maka penerapannya baru dapat dilaksanakan melalui hasil kajian.
“Dan demi peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk pula harus memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Menurut Azmi, jika kajian belum dilakukan, maka kebijakannya cacat hukum dan bertentangan dengan UU Cagar Budaya, termasuk UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Jadi sekalipun Pasal 72 UU Cagar budaya berkonsekuensi kepada Menteri yang dapat menggunakan kewenangannya termasuk menunjuk dalam operasionalnya kepada badan usaha pariwisata namun idealnya harus ada kajian hukumnya dan apa hasil tim kajiannya,” jelasnya.
Lebih lanjut Azmi menjelaskan, secara yuridis dan sosiologis adalah hak masyarakat untuk mendapatkan keterbukaan informasi terhadap kebijakan pemerintah. Tujuannya, untuk melindungi wisata cagar budaya dalam hal ini wisata terbatas bukan wisata umum.
“Jika ini tidak diinfokan jangan salahkan publik jika menduga ada sesuatu yang ditutupi atau motif lain yang akan diusahkan oleh pemerintah maupun badan usaha pariwisata borubodur,” pungkas dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini. (Bie)