Jakarta, JurnalBabel.com – Analis komunikasi politik, Hendri Satrio, menyatakan kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat akan membuka pintu munculnya praktek buruk dalam demokrasi, yakni bekerjanya politik beralat sembako.
“Masalah besar akan terjadi ketika sembako menjadi metode politik,” kata Hendri Satrio dalam pidato politiknya yang disiarkan secara langsung di akun youtubenya Hendri Satrio #Hensat, Kamis (16/11/2023).
Mengapa hal itu bisa terjadi? pria yang biasa disapa Hensat ini memaparkan dua hal.
Pertama, distribusi bahan pokok sembako tidak diselenggarakan sebagai pemenuhan hak rakyat, tapi digunakan sebagai alat politik. Yaitu alat untuk mempengaruhi dukungan politik.
“Pemilih rasional yang pakai akal sehat akan kehilangan tempat. Keputusan politik rakyat akan ditentukan oleh distribusi sembako,” ujarnya.
Kedua, dalam prakteknya pembagian sembako menjadi menu utama kampanye. Bahkan, mungkin aksi sembako ini bukan dianggap tidak wajar tapi justru dinanti-nantikan. Alhasil, yang tidak bagi-bagi sembako merasa kalah sebelum bertanding.
“Yang tidak bagi-bagi sembako akan mundur dari arena, yang akhirnya di isi petualang sembako. Padahal kualitas yang tidak bagi-bagi sembako, sangat melebihi kualitas yang membagi-bagikan sembako,” ucapnya.
Dalam keadaan yang demikian, Hensat mengatakan komunikasi yang berlangsung bukan jenis komunikasi yang rasional, sudah tidak pakai akal sehat. Tidak lagi pakai argumen yang kaya atau pun argumen yang terbuka. Relasi yang terbentuk relasi yang tidak setara.
“Artinya, demokrasi yang plus sembako adalah bentuk manipulasi demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi diabaikan, demokrasi merosot tajam. Ruang demokrasi berubah, yang tadinya ruang tukar gagasan menjadi ruang petukaran transaksi sembako,” ungkapnya.
Pendiri Lembaga Survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKopi) ini menambahkan, kehidupan rakyat menjadi terancam. Pribadi yang masuk arena publik bukan yang punya kapasitas dan integritas, bukan lagi punya akal sehat. Yang masuk dia yang mampu membawa sembako, yang artinya demokrasi bergantung pada daya beli.
“Akibatnya Pemilu 2024 nanti hanya dianggap acaranya KPU, partai-partai, para kandidat Capres-Cawapres, dan bukan lagi urusan rakyat,” kata Hensat. (Bie)