Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar Ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, mengingatkan pentingnya perbaikan dalam dunia pendidikan hukum di Indonesia.
Ia menegaskan, untuk menciptakan kualitas advokat yang lebih baik, integritas dan profesionalisme harus menjadi perhatian utama. Selain itu, stabilitas emosi juga menjadi faktor yang tak kalah penting dalam praktik hukum.
Hal ini diungkapkan Suparji saat merespons dinamika hukum yang berbuntut panjang melibatkan advokat ternama Hotman Paris Hutapea dan Razman Arif Nasution.
Ahli hukum pidana ini juga mengingatkan, proses hukum pada kasus keduanya juga harus berlandaskan pada data, fakta, dan bukti yang sah.
Dalam konteks ini, ia menjelaskan, jika ada rekayasa dalam penyidikan atau proses hukum lainnya, mekanisme kontrol seperti praperadilan harus dijalankan dengan benar.
“Saya ingin memberikan satu poin bahwa bagaimana pendidikan hukum kita harus diperbaiki. Hukum menjadi lebih baik dalam konteks advokat lebih selektif. Betul-betul memperhatikan integritas, profesionalitas stabilitas emosi dan lain sebagainya,” kata Suparji seperti dilansir dari sindonews.com, Kamis (13/2/2025).
Suparji menekankan, proses seleksi yang ketat dalam pendidikan hukum diperlukan untuk menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang berkualitas.
Ia juga menyoroti perlunya peningkatan integritas di kalangan aparat penegak hukum untuk mencegah kebobrokan dalam penegakan hukum.
“Demikian pula aparat penegak hukum yang lain supaya kemudian tidak ada kebobrokan dalam penegakan hukum. Jadi refleksi yang sangat penting bagi dunia pendidikan hukum untuk berbenah sehingga lahirlah sarjana-sarjana hukum yang baik di kedepannya,” jelasnya.
Suparji juga menekankan pentingnya bukti yang kuat dalam membuktikan suatu rekayasa, jika memang itu terjadi.
“Soal apakah mungkin ya, soal rekayasa gitu, tentunya dalam hal ini saya bicara tidak pada konteks asumsi tetapi bagaimana ada piranti dalam konteks misalnya ada soal kesalahan prosedur ada mekanisme kontrol horizontal melalui pra peradilan. Demikian pula kaitannya dengan soal hak-hak dari seorang tersangka tentunya ada ruang-ruang untuk mengajukan hak-hak tersebut,” ujarnya.
Suparji berharap agar kisruhnya hubungan antara Hotman dan Razman tidak menjadi cerminan buruk bagi dunia hukum Indonesia. Sebaliknya, ia berharap kasus ini menjadi refleksi bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan profesionalisme di bidang hukum.
“Jadi menurut saya kalau kemudian kita menggunakan asumsi bahwa apakah mungkin ya rekayasa-rekayasa dan sebagainya, Saya kira tentunya kita harus menggunakan basis data basis fakta basis bukti dan melalui berbagai mekanisme yang dapat dilakukan. Misalnya pra peradilan. Ada di aspek, substansi, prosedur dan kewenangan. Perhatikan aspek substansi bagaimana prosedur yang ditempuh dan siapa yang berwenang di situ,” katanya.