Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menyatakan terlalu dini bagi pihaknya membahas pembentukan lembaga peradilan khusus Pemilu dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). RUU inisiatif DPR ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.
Menurut Zulfikar, ketentuan pembentukan peradilan khusus Pemilu sudah di atur dalam Pasal 157 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menyatakan perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
Dengan demikian, peradilan khusus sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal tersebut adalah peradilan khusus yang hanya mengadili perkara perselisihan hasil Pemilihan.
“Oleh karena itu adanya wacana tentang peradilan khusus pemilu yang memiliki kewenangan mengadili seluruh perkara hukum yang berkaitan dengan pemilu, seperti perkara perselisihan hasil Pemilihan, perkara administrasi Pemilu, dan perkara tindak pidana Pemilu, tidak terlalu krusial untuk dibahas saat ini, karena hal itu sudah diatur dengan jelas oleh UU Nomor 10 Tahun 2016,” kata Zulfikar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/8/2020).
Terkait dengan belum dibentuknya badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud Pasal 157 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 oleh Mahkamah Agung (MA) hingga saat ini, politisi Partai Golkar ini menjelaskan bahwa Pasal 157 Ayat (3) UU 10 Tahun 2016 mengamanatkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Karena MA hingga saat ini belum tampak ada itikad untuk membentuk badan peradilan khusus tersebut, maka Zulfikar mendorong agar ke depan perselisihan hasil Pemilihan kepala/wakil kepala daerah tetap di laksanakan oleh MK tanpa perlu membentuk badan peradilah khusus lagi.
“Hal ini bisa diatur dalam revisi UU Pemilu yang tengah disusun oleh Komisi II DPR RI.
Pijakan terkait dengan usulan tersebut ialah adanya perkembangan hukum sebagai konsekuensi dari Putusan MK terkait tafsir pemilihan umum,” jelasnya.
Pada Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, lanjut Zulfikar, MK memang menyatakan tidak berwenang menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala/wakil kepala daerah, karena MK menimbang pemilihan kepala/wakil kepala daerah, bukan termasuk ke dalam rezim pemilihan umum yang dimaksud dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD NRI 1945, melainkan masuk rezim pemerintah daerah.
Sedangkan pada Putusan MK Nomor 55/PUU-VII/2019, MK telah memasukan pemilihan kepala/wakil kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum serentak.
Artinya, kata anggota badan legislasi (baleg) DPR ini, sekarang sudah tidak ada lagi pembedaan rezim Pilkada dan rezim Pemilu, semuanya menjadi satu dalam rezim Pemilu. Yang berbeda tingkatan pelaksanaan Pemilu, yaitu Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
“Dengan begitu, seharusnya MK kembali dapat menangani perkara hasil pemilihan kepala/wakil kepala daerah secara konstitusional,” katanya.
Namun demikian, bila peradilan khusus yang menangani perkara perselisihan hasil Pemilu ini tetap akan dibentuk, legislator asal Jawa Timur ini meminta ada empat hal yang harus diperhatikan.
Pertama, badan peradilan khusus ini harus berada di bawah Mahkamah Agung. Sesuai dengan Pasal 27 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kedua, badan peradilan khusus ini hanya menangani perkara perselisihan hasil Pemilu Daerah saja. Untuk menangani perkara hasil Pemilu Nasional tetap MK.
Ketiga, badan peradilan khusus ini merupkan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, sifat putusan badan peradilan khusus ini adalah final dan mengikat, demi cepat diperolehnya kepastian hukum.
Keempat, badan peradilan khusus ini berkedudukan di ibukota provinsi.
“Oleh karena itu, perlu direncanakan secara matang soal kesiapan dibentuknya peradilan khusus ini, seperti kesiapan aturan, personil hakim yang menguasai masalah kepemiluan, prasarana dan sarana, serta anggaran,” pungkasnya. (Bie)