Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Fraksi PKB, Mohamad Rano Alfath, menyebut tidak ada yang salah terkait pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin soal penindakan korupsi di bawah Rp 50 juta cukup mengembalikan uang negara saja.
“Menurut saya tidak ada yang salah. Kebijakan tersebut tentu tidak serta-merta tidak memberikan hukuman atau meringankan koruptor, tentu tetap ada penyidikan yang akan mengukur dampak dari perbuatannya itu seperti apa,” kata Rano saat dimintai keterangan oleh wartawan, Minggu (30/1/22).
Dikatakan oleh Rano, banyak kepala desa yang diproses aparat penegak hukum terkait kasus penyimpangan atau penyelewengan dana desa karena ketidaktahuannya.
“Perbuatan korupsi itu atas ketidaksengajaan karena bukan merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau pihak lain, melainkan maladministrasi. Tidak ada mens rea (niat jahatnya), tetapi pure ketidaktahuan. Menurut saya tidak ada salahnya apabila mereka hanya dituntut untuk mengembalikan uang negara, dan tentunya akan ada pembinaan selanjutnya,” tuturnya.
“Jadi kalau ada yang bilang koruptor tidak ditindak hukum, salah itu. Tetap akan ada proses hukum yang berjalan. Dan tentunya nanti Kejaksaan atau Inspektorat juga akan mengupayakan kegiatan preventif dengan memberikan pendampingan dan pembinaan terhadap pelaku,” tutup legislator muda asal Banten itu.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meminta kepada jajarannya agar perkara kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 50 juta, cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian negara tersebut.
“Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian keuangan,” kata Burhanuddin dalam rapat kerja Komisi III DPR, Kamis (27/1/2022).
Burhanuddin mengeklaim, mekanisme tersebut dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Burhanuddin juga mencontohkan bahwa mekanisme pengembalian keuangan negara dapat dilakukan pada kasus pidana terkait dana desa.
Namun, ia menegaskan bahwa mekanisme hukum seperti itu hanya berlaku untuk kasus dengan kerugian negara yang tidak terlalu besar dan tidak dilakukan terus menerus.
“Terhadap perkara yang kerugiannya tidak terlalu besar, dan perbuatan itu tidak dilakukan secara terus menerus, maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara pengembalian kerugian tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelaku penyelewengan dana desa itu nantinya juga dapat dibina oleh inspektorat agar tidak mengulangi perbuatannya.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut menjawab permintaan Anggota Komisi III DPR, Supriansa, yang mengharapkan Jaksa Agung Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) membuat terobosan pengembalian uang atau aset dibandingkan mempidanakan pelaku korupsi dengan nominal yang rendah.
Supriansa mengambil contoh tidak sedikit kasus-kasus dana desa dengan nilai yang rendah sekali sekitar Rp 5-7 juta, tetapi karena masuk ke pengadilan dan harus ada putusan, maka pelaku dituntut pidana sekian tahun.
“Kalau dipikir-pikir nilainya kecil seperti itu, saya mengharapkan Jampidsus ada sebuah terobosan pengembalian uang. Dari pada di penjara, orang ini lebih banyak biaya makan dia didalam diketimbang dengan apa yang kita kejar di dalam ini,” kata Supriansa dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/1/2022).
Politisi Partai Golkar ini menambahkan bangsa ini memiliki keterbatasan soal kesediaan Lapas-Lapas di Indonesia yang sudah over kapasitas. Apabila terus dipaksakan dengan mempidanakan pelaku korupsi nilai rendah, maka luar biasa padatnya Lapas-Lapas di Indonesia.
“Nah, apakah ada solusi dengan cara seperti itu atau kita harus terus lurus tegak harus dipenjarakan orang meski nilainya cukup kecil itu,” ujarnya.
(Bie)