Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir keputusan KPU Bandar Lampung SK No. 007/HK.03.01-Kpt/1871/KPU-Kota/1/2021 tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Hj. Eva Dwiana, SE dan Drs. Deddy Amarullah, pasangan nomor urut 03.
Politisi PAN ini menilai keputusan KPU Bandar Lampung itu sudah sesuai dengan rekomendasi Bawaslu Bandar Lampung.
“Bawaslu Bandar Lampung sudah yakin adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh paslon 03,” kata Khairul Saleh dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/2/2021).
Fakta yang terungkap di persidangan Bawaslu Lampung, telah terbukti dan meyakinkan bahwa pasangan no 03 ini telah dibantu oleh Walikota Lampung yang merupakan suami dari Eva Dwiana karena telah mengarahkan dan bantuan Covid-19.
Walikota dan jajarannya telah membagikan bansos Covid-19 berupa beras 5 Kg didanai APBD Kota Bandar Lampung kepada seluruh warga masyarakat secara merata. Dalam paket yang dibagikan tersebut juga disertai pesan-pesan khusus untuk memilih pasangan calon nomor urut 03 dan ini jelas merugikan calon pasangan lain.
Disinyalir juga terjadi pengerahan ASN dari mulai camat, lurah, RT dan Linmas di 11 kecamatan se-Kota Bandar Lampung, dan pembagian uang kepada kader PKK menjelang hari pemilihan untuk memilih pasangan no 03.
“Berikutnya juga ASN merangkap sebagai KPPS, pemecatan RT dan Linmas dan penghentian bantuan beras bagi warga yang menolak memilih Paslon Nomor Urut 03. Ini kan memprihatinkan,” ujarnya.
Namun demikian, legislator asal Kalimantan Selatan ini menghormati seluruh upaya hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait selama masih dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk upaya paslon 03 yang melakukan kasasi ke MA, sehingga MA mengeluarkan putusan yang menganulir keputusan KPU.
Sekalipun demikian, terkait sengketa pemilihan ini, Khairul Saleh menilai bahwa peraturan MA tersebut perlu ditinjau kembali. Dalam hal ini adalah Pasal 24 Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan “Putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali.”
Ketentuan ini, sebut dia, bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni misalnya, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa “(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
“Jika dikatakan Perma No. 11 Tahun 2016 itu pengecualian dalam arti lex specialis. Memang, dalam kamus hukum terdapat asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum,” jelasnya.
Namun, Khairul Saleh menekankan bahwa salah satu prinsip lex specialis ini adalah ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis. Artinya, undang-undang harus dengan undang-undang. Dengan demikian, tidak boleh ada peraturan turunan yang melanggar ketentuan undang-undang.
“Perma MA No 11 Tahun 2016 ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum,” pungkasnya. (Bie)