Jakarta, JurnalBabel.com – Satgas Pangan Kepolisian RI telah melakukan sidak secara serentak. Dari operasi itu ditemukan banyak dugaan penimbunan minyak goreng, seperti di Sumatera Utara, NTT dan Banten.
Berkaitan hal tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh, memberikan catatan untuk pihak kepolisian. Pertama, kelangkaan minyak tanah saat ini harus diakui telah menggoyahkan stabilitas ketahanan pangan nasional. Hal ini membuat semua prihatin.
“Bagaimana bisa kita yang dikenal sebagai penghasil minyak goreng hasil dari industri tanaman sawit mengalami lonjakan harga minyak goreng di pasar dan kisruh distribusi pengadaan,” kata Khairul Saleh dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/2/2022).
Kedua, Ketua DPP PAN ini mengapresiasi kinerja Kepolisian RI, khususnya Satgas Pangan Bareskrim Polri yang telah berhasil menemukan dugaan terjadinya penimbunan minyak goreng. Baik di Deli Serdang dengan 1,1 juta kilogram minyak goreng yang ditimbun, di Kupang, NTT, juga di Makassar, Sulawesi Selatan dan di Banten.
Namun demikian, katanya, karena ini menyangkut gugatan atas ketahanan pangan nasional, maka dia minta pihak kepolisian wajib mengusut tuntas, bukan saja berhenti pada pelaku penimbunan, tetapi lebih penting dari itu adalah menemukan mafia pangan.
“Khususnya pemain minyak goreng besar yang sengaja mengeruk keuntungan dari perdagangan tidak wajar ini,” tegasnya.
Ketiga, dia minta aparat kepolisian tidak ragu untuk menindak tegas jika ditemukan pelaku penimbunan minyak goreng.
“Apalagi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting telah mengaturnya dengan rinci,” jelasnya.
Ia mencontohkan Pasal 107 jo Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2014 menyatakan bahwa pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(Bie)