Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Rahmat Muhajirin meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Trasanksi Keuangan (PPATK) dilibatkan dalam penanganan kasus Djoko Tjandra (DT). Pasalnya, kasus DT patut di duga banyak sekali melibatkan oknum penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.
Mulai dari pelarian/buron DT, penanganan bisnis di Indonesia selama DT Buron, bisa keluar masuk dari/ke Indonesia, pencabutan red notice, penerbitan paspor dan e-KTP baru, surat jalan, pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dan lainnya.
“Saya kira aparat penegak hukum di bawah Menkopolhukam yang sekarang ini lebih paham hal tentang koordinasi. Kapan saatnya Kepolisian RI – Kejaksaan RI – dan KPK koordinasi. Tidak hanya Kepolisian – Kejaksaan RI dan KPK, mungkin juga harus melibatkan PPATK. Begitu,” kata Rahmat Muhajirin saat dihubungi, Jumat (7/8/2020).
Menurutnya, DT ini orang hebat di mana semua orang yang ada kaitan dengan kepentingannya bisa di pengaruhi. “Salah satu untuk mencari bukti petunjuk siapa-siapa saja mereka itu, telusuri aliran dananya. Dan yang bisa melakukan itu, yang bisa menelusuri aliran dana itu, adalah PPATK,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra ini juga yakin selama lebih 10 tahun ini akan banyak sekali oknum-oknum yang terlibat dan akan di jadikan tersangka. Hal itu terjadi apabila perintah Presiden Jokowi dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam kasus DT.
“Kita berharap, kali ini perintah Presiden Jokowi untuk menuntaskan Kasus DT akan di lakukan dengan sungguh-sungguh,” harapnya.
Legislator asal Jawa Timur ini menambahkan arahan Presiden Jokowi tersebut mempunyai arti harus mengembangan penyelidikan dan penyidikan untuk menemukan semua peristiwa hukum dan tersangkanya yang berkaitan dengan peralian/buron DT.
” Ini semua untuk penyelenggaraan pemerintahan bersih/penegakkan hukum, bersih dari KKN,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, polisi menduga ada tindak pidana berupa penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara dalam kasus penghapusan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
“Konstruksi hukum terhadap tindak pidana yang dipersangkakan yaitu, dugaan penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara terkait pengurusan penghapusan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra, yang terjadi sekitar bulan Mei 2020-Juni 2020,” kata Argo melalui video telekonferensi, Kamis (6/8/2020).
Untuk diketahui, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri tengah melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi dalam kasus tersebut yang baru saja ditingkatkan ke tahap penyidikan pada Rabu (5/8/2020).
Sebelum melakukan gelar perkara, polisi telah meminta keterangan sebanyak 15 orang saksi. Namun, Argo tak merinci siapa saja saksi yang dimaksud. Selain itu, Bareskrim juga telah berkoordinasi dengan PPATK untuk menelusuri aliran dana terkait perkara tersebut. Namun, polisi belum menetapkan tersangka. Argo menuturkan, penyidik masih bekerja untuk menemukan terduga pelaku.
Pasal yang disangkakan dalam kasus ini yaitu, Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 2, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.
Sebelumnya, dua jenderal Polri telah dimutasi karena diduga melanggar kode etik perihal polemik red notice untuk Djoko Tjandra. Keduanya yaitu, Kepala Divisi Hubungan International Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo.
Sementara itu, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menangani kasus pelarian Djoko Tjandra yang turut menyangkut perwira tinggi (pati) Polri.
Sejauh ini, polisi telah menetapkan dua orang tersangka karena diduga membantu Djoko untuk keluar-masuk Indonesia.
Pertama, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo yang telah menerbitkan surat jalan dan diduga terlibat dalam penerbitan surat kesehatan untuk Djoko Tjandra.
Prasetijo telah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri untuk keperluan pemeriksaan.
Prasetijo disangkakan Pasal 263 Ayat 1 dan 2 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1e KUHP, Pasal 426 KUHP, dan/atau Pasal 221 Ayat 1 dan 2 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara.
Pasal 263 KUHP meyebut ketentuan soal pemalsuan surat atau dokumen. Prasetijo diduga telah membuat dan menggunakan surat palsu yang berupa surat jalan tersebut.
Kemudian, Pasal 426 KUHP terkait pejabat yang dengan sengaja membiarkan atau melepaskan atau memberi pertolongan orang yang melakukan kejahatan.
Lalu, Pasal 221 KUHP terkait menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan.
Selain Prasetijo, penyidik juga telah menetapkan Anita Kolopaking sebagai tersangka.
Anita merupakan pengacara atau kuasa hukum Djoko, narapidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, saat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 silam.
Anita dijerat dengan pasal berlapis. Ia disangkakan Pasal 263 ayat (2) KUHP terkait penggunaan surat palsu dan Pasal 223 KUHP tentang upaya membantu kaburnya tahanan. (Bie)