Kebijakan pimpinan KPK dengan melalui test wawasan kebangsaan bagi insan KPK, merupakan perilaku kecendrungan gejala kurang baik, tidak banyak kegunaannya. Mengukur dedikasi dan komitmen berbangsa dengan soal-soal adalah kurang pas, karena akan lebih pas mengukur wawasan kebangsaan (TWK) itu melalui perbuatan dan sikap nyata insan KPK atas suatu peristiwa konkrit, bukan pula melalui pertanyaan dalam bentuk soal.
Kegagalan KPK akibat memang dibuat sendiri, dimacetkannya sendiri oleh penyelenggara negara sampai tidak tahu yang mana yang merupakan sebab dan mana yang akibat, namun dalam kasus TWK ini dapat terlihat memang didesign melalui sistem dan kebijakan dari dalam pimpinan KPK sendiri yang membuat insan KPK kini saling berhadap hadapan dalam masalah.
Ini yang sekarang terus menjadi hambatan bahwa telah terjadi kebijakan yang dibuat sendiri dalam sistem internal KPK yang memberikan dampak pada terjadinya berbagai kerumitan tersebut.
Ini terjadi karena ada pihak-pihak mengambil kebijakan yang sudah lari dari tujuan KPK yang semestinya harus independent, dan insan KPK tidak berpihak. Ini prinsip utamanya namun hal ini yang digeser melalui proses dan skema dalam undang undang baru dan sampai menuju post akhir pada tataran babak implementasi “bersih bersih SDM internal” dengan menerapkan test wawasan kebangsaan agar status pegawai KPK beralih status menjadi sebagai ASN.
Perubahan status kepegawaian ini membawa dampak yang menuju pada perseorangan karir tiap pegawai karena begitu jadi ASN, insan pegawai KPK akan berimplikasi lebih mudah dikendalikan dan dimungkinkannya insan KPK untuk dimutasi kapan pun ke lembaga lain atau di non-job kan. Sebab nantinya mereka akan berada dalam wadah Korpri yang rentan dengan garis kekuasaan dan budaya organisatiris yang selama ini telah terjadi. Cendrung cari aman dan cari nyaman, mereka bukan lagi berada di wadah pegawai KPK yang independen.
Ditambah kondisi saat ini di tubuh KPK belum ada kesatuan dalam tujuan yang sama (unity in share goals) antar penyidik senior dan beberapa direktur dengan pimpinan KPK. Kegaduhan internal KPK saat ini akan berakibat masalah dan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Inilah yang akan membuat KPK bisa break down dan selanjutnya fungsi KPK tidak dapat berfungsi dengan baik. Artinya pihak-pihak yang menyetujui revisi UU KPK berhasil membuat kemacetan dan kegaduhan dalam tubuh KPK.
Ini kisah KPK menuju perjalanan akhir. Langkah dan caranya sudah disusun pada peta jalan matinya KPK yang dikemas melalui hukum, dimana hukum dipaksakan untuk berlaku di KPK melalui revisi Undang Undang KPK. Padahal diketahui karakteristiknya lahirnya lembaga KPK berbeda dan melalui Undang-undang hasil revisi.
Inilah menjadi pintu pembenar sebuah kebijakan dan langkah hukum yang bisa dikemas menjadi “sarana kejahatan” untuk mematikan lembaga KPK. Dalam praktiknya saat ini semakin terlihat bahwa pelaksanaan undang-undang revisi KPK semakin tidak efektif. KPK dan pemberantasan korupsi terkesan semakin “compang-camping”. Yang ada kini membuat banyak kegaduhan dan KPK berubah menjadi “mayat hidup,”
UU revisi KPK ini hanya bagai alat mesin yang baru berfungsi bila dihidupkan oleh adanya orang lain sebagai pengendali jarak jauh, sehingga implemetasi UU revisi KPK yang baru ini kenyataannya membuat semakin mempersempit ruang gerak KPK dan membuat gerah antar insan KPK. Padahal makna revisi atas sebuah UU tersebut semestinya harus mampu menjawab urgensi kebutuhan perkembangan kekinian dan guna lebih mudah menyelesaikan permasalahan serta membuat insitusi lebih maju dan nyaman. Bukan pula membuat insitusi menimbulkan kegaduhan dan kemacetan.
Azmi Syahputra
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)