Jakarta, JurnalBabel.com – Harga Tandan Buah Segar atau TBS belum stabil pasca dicabutnya larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) oleh pemerintah. Misalnya, harga TBS sawit di level petani sawit, rata-rata berkisar Rp 1.115 sampai dengan Rp 1.200 di Kalimantan Tengah atau Kalteng.
Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Demokrat dapil Kalimantan Tengah Bambang Purwanto menilai, kondisi tersebut merupakan buntut tak kunjung selesainya masalah harga TBS ini diawali kebijakan larangan ekspor CPO yang sempat dikeluarkan Presiden Joko Widodo.
Kebijakan ini merupakan tanggapan pemerintah atas kelangkaan minyak goreng atau Migor yang sempat terjadi di Indonesia.
Selain itu, Bambang juga memandang penyebab masih rendahnya harga TBS lantaran stok CPO yang tidak mengalir dengan cepat. Hal ini pun telah membuat stok CPO di tanah air menjadi tinggi.
Bambang menuturkan, seharusnya kementerian dan lembaga terkait saling bersinergi dan runut dari hulu hingga hilir. Bambang menilai, selama ini setiap kementerian dan lembaga terkait juga tidak bekerja secara terpadu.
“Semua Kementerian terlibat perkebunan kelapa sawit cara berpikirnya harus industri baik dari hulu sampai hilir (berfikir industri),” kata Bambang, Rabu,(10/8/2022).
Dengan demikian, Bambang menyarankan, agar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pimpinan Airlangga Hartarto dapat menerbitkan payung hukum agar Kementerian terkait saling sinergi dari hulu sampai hilir menciptakan kerja terpadu terkait produk kelapa sawit.
Dengan adanya payung hukum, Bambang meminta, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian hingga Kementerian Keuangan Direktoral Jenderal Pajak (DJP) dapat bekerja secara terpadu.
Sebagai contoh, lanjut Bambang, jika nantinya payung hukum telah dibuat untuk kerja terpadu masing-masing kementerian bisa langsung saling berkoordinasi dan mudah mengontrol terkait dengan produk kelapa sawit.
“Sekiranya Kementerian Pertanian punya petani sawit punya lahan pertanian produksi berapa dan kemudian diolah dengan Kementerian Perindustrian jadi produk CPO dan turunan CPO. Lalu kemudian di Kemendag dapat mengontrol berapa permintaan kebutuhan ekspor dan kebutuhan dalam negeri,” jelas Bambang.
Bambang menerangkan, payung hukum harus dituangkan dalam surat keputusan bersama atau SKB agar adanya kerja terpadu Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan (DJP) terkait produk sawit ini.
Pasalnya lanjut Bambang, selama ini Kementerian Pertanian dengan hasil sawitnya dan produk CPO serta turunannya di Kementerian Perindustrian terkendala masalah pemasaran di Kementerian Perdagangan.
“Kalau berpikirnya industri dari hulu sampai hilir yang bisa mengontrol hanya kerja terpadu melalui SKB menteri yang diterbitkan Kementerian Koordinator Perekonomian. Sehingga masing-masing stakeholder dari hulu sampai hilir dapat diuntungkan,” pungkas Bambang. (Bie)