Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, menilai langkah pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), merupakan kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif dan partisipatif. Pasalnya, Perppu tersebut tidak menjalankan Amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan pelibatan publik.
Padahal putusan MK tersebut menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya. Selain terbatasnya pelibatan publik elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU Cipta Kerja selama proses revisi.
“Keluar Perppu Cipta Kerja ini adalah kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif dan tidak partisipatif. Lagi-lagi, esensi demokrasi diacuhkan. Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk melayani kepentingan elite. Janganlah kita menyelesaikan masalah dengan masalah,” kata Anwar Hafid kepada wartawan, Senin (9/1/2023).
Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Tengah ini memaparkan sejumlah persoalan yang ada di dalam UU Ciptaker. Diantaranya, soal skema upah minimum, aturan outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), aturan PHK, TKA, skema cuti, dan lainnya.
“Misalnya persoalan pegawai kontrak dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak,” ungkapnya.
Anggota Komisi V DPR RI ini juga menyoroti pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebut pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Menurutnya, penggunaan frasa “tidak terlalu lama” mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya tiga tahun sebagai salah satu kriteria PKWT.
“Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa “tidak terlalu lama” dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh. Ingat azas hukum itu kepastian, frasa terlalu lama menghawatirkan,” jelasnya.
Anwar Hafid juga mengungkapkan, dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.
Begitu juga Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerjal. Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Sementara itu, tegas Anwar, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.
“Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja,” sesalnya.
Dengan demikian, Anwar Hafid pun mempertanyakan, apa yang menjadi dasar dari logika kegentingan untuk mengeluarkan dan menerbitkan Perppu tersebut.
“Karena situasi global mesti kita pertanyakan? Jika ekonomi kita secara fundamental kuat, jadi mengapa Perppu ini mesti dijalankan secara tergesa-gesa? ini justru menganulir berbagai pernyataan pemerintah sebelumnya,” katanya.
Mantan Bupati Morowali ini menekankan, dalam menjalankan pemerintahan mesti taat azas, taat konstitusi, terutama senantiasa mempertimbangkan kepentingan rakyat.
“Karena muara kebijakan ini adalah rakyat, untuk apa ada konstitusi jika hak-hak rakyat utamanya kaum buruh dan kelas pekerja justru terinjak-injak,” pungkasnya.
(Bie)