Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Mohamad Muraz, mempertanyakan konsistensi partai politik (parpol) di DPR yang menolak bahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau RUU Pemilu.
Pasalnya, kata Muraz, RUU Pemilu pada 2020 sudah disepakati oleh seluruh fraksi parpol di DPR melalui rapat paripurna masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020 dengan berbagai pertimbangan. Begitu juga dalam pembahasan daftar prolegnas prioritas 2021di Badan Legislasi (Baleg), seluruh fraksi menyepakatinya.
“Yang ngetuk palu Prolegnas siapa? Kok sekarang mereka jadi pada nolak? ada apa?” kata Muraz saat dihubungi, Minggu (31/1/2021).
Suara 9 fraksi parpol di DPR terpecah terkait pembahasan RUU Pemilu masuk dalam prolegnas prioritas 2021 disahkan menjadi usulan DPR melalui rapat paripurna, yang saat ini sedang tahap harmonisasi di Baleg DPR.
Ada lima fraksi yang menolak membahas RUU Pemilu yang dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 Ayat 2 dan 3 dimuat ketentuan bahwa Pilkada serentak dilaksanakan pada 2022 dan 2023.
Kemudian, Pasal 734 menyebutkan bahwa Pilkada serentak akan dilangsungkan pada tahun 2027 dan selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang dimuat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada Pasal 201 Ayat 8 disebutkan bahwa Pilkada serentak telah ditetapkan digelar pada November 2024.
Pelaksanaan Pilkada ini akan berdekatan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada April 2024.
Lima fraksi tersebut yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PAN dan PPP. Empat fraksi lainnya yakni NasDem, PKB, Partai Demokrat dan PKS, sepakat membahas RUU Pemilu.
Lebih lanjut Muraz memaparkan berbagai pertimbangan seluruh fraksi di DPR sepakat memasukan RUU Pemilu dalam daftar prolegnas prioritas 2020 dan 2021.
Pertama, apabila Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan pada 2024, maka KPU akan mengalami kerepotan seperti yang terjadi di Pemilu 2019. Ketika itu Pileg dan Pilpres digelar bersamaan mengakibatkan ratusan petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan bekerja selama 24 jam.
“Kita bisa membayangkan kalau Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan. Nah ini akan seperti apa,” ujarnya.
Kedua, bisa saja Pilkada dan Pilpres tidak digelar bersamaan namun tetap di gelar pada 2024 seperti yang di atur dalam UU Pemilu dan UU Pilkada saat ini. Menurut Muraz, hal ini juga tetap saja merepotkan KPU karena waktunya akan beririsan antara Pileg, Pilpres dan Pilkada.
Ia juga yakin parpol akan kerepotan karena baru saja mereka menyiapkan untuk Pileg dan Pilpres, mereka harus berpikir lagi untuk menyiapkan para calon kepala daerah dan wakilnya untuk Pilkada.
“Sehingga ini dikhawatirkan kualitas dari demokrasi akan menurun,” tuturnya.
Ketiga, terjadi banyak penunjukan pejabat sementara (plt) kepala daerah dengan tenggang waktu yang cukup lama bisa lebih dari 2 tahun. Muraz menilai hal itu akan mengganggu kinerja pemerintahan, karena Plt yang ditunjuk misalnya dari Kemendagri atau dari pejabat di tingkat provinsi, kerja menjadi tidak fokus dengan rangkap jabatan.
Belum lagi, kata Muraz, kepala daerah definitif itu berbeda karakter dan kewenangannya dalam melaksanakan pemerintahan. Sebab, ia sebagai mantan Wali Kota Sukabumi, paham betul bagaimana karakter seorang kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dengan yang tidak langsung dipilih rakyat atau dulu dipilih DPRD.
“Tentu yang ditunjuk ini mungkin tidak akan terlalu berpikir tentang tanggungjawab yang lebih besar terhadap masyarakat. Berbeda dengan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat. Dia pasti merasakan punya rasa terima kasih, balas budi, memberikan pelayanan dan kesejahteraan yang lebih baik kepada masyarakat,” jelasnya.
Keempat, kepala daerah yang terpilih pada Pilkada serentak 2017, 2018 dan 2019, masa jabatannya kurang dari 5 tahun apabila Pilkada serentak berikutnya digelar di 2024.
“Ini kan cukup merugikan untuk para kepala daerah tadi. Ini perlu dipertimbangkan,” katanya.
Muraz kembali menyinggung konsistensi parpol yang menolak bahas RUU Pemilu. Padahal, ungkap dia, naskah akademik RUU Pemilu sudah masuk di Komisi II DPR serta sudah dibahas. Ia berpandangan hal tersebut menjadi preseden buruk kedepannya dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
“Jadi RUU Pemilu ini memang sebaiknya ditinjau kembali. Pilkada sebaiknya tetap terpisah dengan Pilpres dan Pileg. Kalau kemarin sudah ada Pilkada serentak mulai 2017, 2018, 2020, perlu dipertimbangkan normalisasi Pilkada serentak tetap perlu tiga kali Pilkada serentak lagi. Mulai 2022, 2023 dan 2025,” pungkasnya. (Bie)