Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, mempertanyakan alasan rapat pimpinan DPR RI menunda Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ke Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
“Masa untuk kepentingan perlindungan pada hak rakyat kecil saja mereka tunda-tunda,” kata Irma Suryani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kemarin.
Irma mempertanyakan apakah alasan penundaan tersebut karena pimpinan DPR menganggap RUU PPRT tidak seksi dan tidak komersial dibandingkan sejumlah undang-undang lain yang telah mampu direvisi DPR.
“Dibanding revisi UU Kesehatan, Omnibus Ciptaker yang dibahas ngebut sampai-sampai tidak melibatkan komisi terkait,” ujarnya.
Ia mengaku tidak terima perlakuan wakil rakyat yang semena-mena atas penundaan RUU PPRT, yang sudah sekitar tiga kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR sehingga memberikan harapan palsu kepada rakyat.
“Artinya sudah lebih dari 15 tahun bolak balik kayak setrikaan,” tuturnya.
Irma menyebut seharusnya draf pasal-pasal RUU PPRT disusun oleh komisi terkait di DPR karena Badan Legislasi (Baleg) DPR RI fungsinya sinkronisasi pasal-pasal dari DPR dan pemerintah untuk kemudian disahkan di Rapat Paripurna DPR.
“Setelah didraf oleh komisi lalu dibawa ke paripurna, baru kemudian diputuskan di bamus,” jelasnya.
Untuk itu, Irma menyebut pimpinan DPR tidak melakukan fungsinya sebagai wakil rakyat karena menunda membawa RUU PPRT ke Rapat Bamus DPR sehingga belum bisa disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna.
Dia mempertanyakan urgensi penundaan yang dilakukan pimpinan DPR karena mengabaikan keadilan dan hak para pekerja rumah tangga (PRT) yang sejatinya memilih dan mendudukkan mereka sebagai wakil rakyat di parlemen.
“Miris saya mendengar, sekali lagi RUU PPRT dijegal bahkan oleh para pimpinan yang diamanahkan untuk memberikan keberpihakannya pada rakyat yang mengantarkan mereka pada kursi kekuasaan,” katanya.
Menurut Ketua DPP Partai NasDem ini, perlindungan dan hak pekerja rumah tangga sama dengan warga negara Indonesia lainnya sehingga belum adanya payung hukum bagi perlindungan pekerja rumah tangga merupakan bentuk diskriminasi.
“‘Apakah mereka tidak dianggap sebagai warga negara yang harus dilindungi hak dan kewajibannya? Dalam hal ini pimpinan DPR bisa dinyatakan telah melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusi warga negara,” katanya. (Bie)