Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Fraksi PKB, Muhamad Rano Alfath, mengakui banyak kritikan disampaikan kelompok masyarakat sipil terkait polemik sejumlah pasal di Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) yang baru saja disahkan pemerintah dan DPR.
Polemik tersebut terkait dengan sejumlah pasal kontroversial di KUHP baru di antara pasal perzinahan, kontrasepsi, demonstrasi, dan penghinaan terhadap presiden.
“Jadi kalau sekarang ribut-ribut kita memahami itu. Pasti tidak semua memenuhi kepuasan seluruh masyarakat terkait pasal-pasal yang ada di UU KUHP kita yang baru ini,” kata Rano Alfath dalam webinar bertajuk “KUHP Baru, Apa Dampak Positifnya Bagi Masyarakat” pada Jumat (9/12/2022).
Sejatinya, kata dia, sebelum pengesahan KUHP baru tersebut, dalam prosesnya, DPR maupun pemerintah sudah melakukan banyak diskusi dan menerima masukkan dari berbagai pihak.
“Proses KUHP ini sudah TK1 dari awal, jadi memang tidak bisa dilakukan perubahan,” ucapnya.
Menurutnya, pasal-pasal dalam KUHP baru yang dianggap menimbulkan kontroversi di masyarakat, merupakan upaya DPR untuk mengambil jalan tengah. Semisal, di Pasal 417 soal persetubuhan di luar perkawinan dan Pasal 415 terkait perzinaan.
“Kita sudah mengambil titik temu semua. Pasal-pasal yang cukup menyita perhatian masyarakat, misalnya terkait urusan privat (kumpul kebo) dan perzinahan di Pasal 417 dan 415,” jelasnya.
Rano mencontohkan di Pasal 415 tentang perzinahan, DPR telah mengambil jalan tengahnya bahwa setiap orang yang dianggap melakukan perzinahan hanya bisa dilaporkan oleh orang tua, suami/istri atau anaknya.
“Tadinya lebih luas lagi (yang melaporkan pelaku perzinahan), ada RT-RW dan lainnya bisa melapor. Kita batasi agar apa? Agar orang tidak main hakim sendiri terkait pasal perzinahan ini,” tegasnya.
Pasal lainnya yang menuai polemik di antaranya pasal penghinaan terhadap presiden. Ketentuan mengenai penghinaan presiden diatur pada Pasal 217 sampai Pasal 220.
Menurut politisi muda PKB ini, di Pasal 218 KUHP bertujuan membatasi agar jangan lagi terjadi seperti dahulu, di mana banyak pihak yang seolah-olah mengkritisi seenaknya dengan narasi penghinaan terhadap Kepala Negara dan wakilnya.
“Dengan pasal ini kita berharap membedakan antara pengkritik dengan penghinaan. Pengkritik tidak boleh dipidana, tetapi yang kategori menghina inilah yang boleh mengadukan adalah yang merasa terhina dalam hal ini Presiden atau Wakil Presiden,” terangnya. (Bie)