Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah masih saja gagap mengantisipasi ancaman krisis pangan global. Padahal, sejak pertengahan 2020 silam, sejumlah lembaga dunia yang mengurusi pangan sudah memberikan peringatan akan hal itu. Dampaknya, selama beberapa bulan terakhir, Indonesia terus didera masalah stok dan lonjakan harga sejumlah kebutuhan pokok.
Kondisi tersebut, menurut Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, menunjukkan adanya masalah dalam sistem perdagangan komoditas, terutama komoditas pangan Indonesia. Ia pun mendorong pemerintah melakukan reformasi sistem perdagangan komoditas pangan dan produk turunannya.
“Stabilisasi stok dan harga pangan itu erat kaitannya dengan hukum supply dan demand. Sistem perdagangan kita saat ini, tidak mampu mengantisipasi kelangkaan stok dan lonjakan harga pangan, terutama yang tingkat ketergantungan impornya tinggi,” kata Amin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/6/2022).
Lebih lanjut Ia mengatakan, sistem peringatan dini (early warning system) yang ada saat ini sudah tidak kompatibel dengan perubahan cepat saat ini. Indonesia memerlukan indeks harga pangan nasional maupun daerah yang disajikan secara real time.
Kelemahan lainnya, kata Amin, efisiensi sistem perdagangan komoditas pangan nasional juga rendah sehingga rakyat harus membayar mahal untuk kebutuhan pokok. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, di kalangan kelompok masyarakat menengah ke bawah, belanja pangan menghabiskan 40%-50% pendapatan mereka.
“Harus dilakukan reformasi tata niaga pangan, dengan menekan biaya logsitik dan memperkecil campur tangan kartel pangan,” tegasnya.
Terkait strategi mengatasi lonjakan harga pangan saat ini, menurut Amin, pemerintah harus melakukan dua hal. Pertama, bekerja keras memenuhi stok atau kebutuhan pangan masyarakat saat ini, bagaimanapun caranya. Kedua, memberikan subsidi harga di tingkat konsumen untuk mencegah laju inflasi. Terlebih saat ini, 65% penggerak pertumbuhan perekonomian nasional masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga.
Lebih lanjut Amin mengungkapkan, kebijakan stabilisasi stok dan harga pangan sebaiknya didasarkan pada kemampuan yang ada. Seperti diketahui, ada tiga kelompok pangan berdasarkan ketersediaannya.
Pertama, komoditas pangan yang kita sudah mampu memproduksi sendiri dalam jumlah mencukupi, seperti beras, cabai, bawang merah, telur dan daging ayam, ikan, serta minyak goreng. Persoalan utama kelompok ini adalah tata niaga dan sistem pengelolaan stok yang masih buruk.
Hal itu sering terjadi pada komoditas cabai, bawang, tomat, dan sejumlah produk hortikultura lainnya Produk-produk ini melimpah di saat panen raya dan harganya jatuh sehingga petani menangis karena merugi. Sedangkan pada musim tertentu (dikenal dengan off-season), produksi rendah dan harga melambung tinggi, sehingga menyebabkan inflasi tinggi.
Seharusnya dengan perkembangan teknologi yang ada, sistem pengelolaan stok bisa dibenahi. Pemerintah bisa menunjuk BULOG untuk memborong produksi petani pada saat panen raya, disimpan dengan teknologi yang bisa memperpanjang usia kesegaran komoditas, dan bisa untuk menutupi kekurangan produksi di saat produk turun.
Kedua, komoditas pangan yang sebetulnya Indonesia seharusnya mampu mencukupi sendiri, seperti gula, jagung, kedelai, dan daging. Persoalan kelompok pangan ini antara lain rendahnya efisiensi produksi yang mengakibatkan mahalnya biaya produksi mahal dan harga jual hasil panen, kendala minimnya ketersediaan lahan, dan tata niaga yang masih jauh dari ideal, termasuknya mahalnya biaya logistik.
Sebagai contoh, Indonesia pernah swasembada kedelai dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun selama periode 1990 – 1992. Namun keterbatasan lahan, produktivitas rendah, dan biaya produksi tinggi sehingga tidak mampu bersaing dengan kedelai impor, membuat petani memilih menanam komoditas lain atau beralih profesi.
Kelompok ketiga adalah pangan yang sepenuhnya tergantung pada impor seperti halnya gandum dan produk turunannya . Diperlukan komitmen kuat untuk mengembangkan pangan alternatif berbasis pangan lokal dengan pendekatan industrialisasi.
Sebagai misal terigu, mie instan, maupun industri aneka kue dan roti yang sangat tergantung pada gandum impor, harus didorong untuk menggunakan produk alternatif seperti tepung kasava dari singkong, tepung dari ubi jalar, dan lain. Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman pangan lokal yang bisa diolah menjadi bahan baku industri makanan dan minuman.
“Saya minta BUMN menggandeng UMKM untuk pengembangan pangan lokal dan hilirisasinya untuk mengurangi ketergantungan impor,” pungkasnya. (Bie)