Tinjauan atas RUU Ketahanan Keluarga
Rizqon Halal Syah Aji, Pengajar Pada Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan UIN Jakarta
Ada dua mata pisau dalam melihat kesetaraan gender (emansipasi) pada kodrat perempuan. Pertama adalah peran individual dalam lingkup diri perempuan, kedua adalah pola pikir sosial masyarakat dalam melihat keberadaan perempuan.
Pada perspektif Kartini yang kondratnya adalah perempuan, beliau telah melakukan gerakan pemikiran dan upaya praktis dalam memperjuangkan gagasannya tentang kesetaraan derajat perempuan seiring dengan peran laki-laki dalam pemenuhan segala hak sebagai warga negara.
Dalam perjalan pasca kemerdekaan, peran emansipasi menjadi sangat dinamis, namun demikian perempuan Indonesia sudah membuktikan perjalanan emansipasinya dengan membuktikan hadirnya pemimpin perempuan Indonesia yakni Presiden Megawati Soekarnoputri.
Fase demokratisasi yang semakin berkembang, kembali diuji terhadap pemaknaan emansipasi. Hadirnya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU-KK), yang mengusik para penggiat emansipasi di negeri ini untuk unjuk gigi melakukan kritik atas subtansi pasal-pasal di dalam RUU tersebut.
Ada beberapa pasal yang diindikasikan akan menjadi stimulus dalam mendistorsi semangat emansipasi yang digagas oleh Kartini dan menciptakan ketegangan harmonisasi yang dibangun secara privat di setiap keluarga Indonesia.
Perlu diperhatikan bahwa kualitas manusia Indonesia yang disemangati oleh pembangunan seutuhnya (jiwa dan raga) merupakan produk dari keluarga berkualitas yang dibangun atas dasar kesamaan hak antara suami (laki-laki) dan Istri (Perempuan).
Usaha melahirkan undang-undang ketahanan keluarga dimaksudkan untuk melindungi segenap keluarga Indonesia dari distorsi kualitas keluarga, akan tetapi sebagai produk hukum tentu banyak kepentingan yang mewarnai lahirnya undang-undang tersebut.
Pertarungan pemikiran dari berbagai kelompok yang pro dan kontra terhadap bagian penting pada RUU tersebut menjadi menarik untuk dikaji dalam tulisan ini, dengan harapan semangat RUU tidak menghilangkan semangat emansipasi yang dirintis oleh Kartini dalam membangun nasionalisme kaum perempuan Indonesia.
Beberapa rancangan pasal dan RUU Ketahanan Keluarga menuai kritik tajam. Salah satunya adalah sorotan terhadap pasal 25. Pasal ini nampak sumir sebab peran negara sangat menjorok pada kehidupan sangat pribadi. Pada ayat (2) mengatur kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu: a. Sebagai kepala keluarga suami bertanggungjawab menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberi keperluan hidup dalam rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggungjawab atas legalitas kependudukan keluarga; b. Melindungi keluarga dari kriminalitas, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran; c. Melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas serta penyalahgunaan narkotia, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya; serta d. Melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
Ayat (3) bahwa kewajiban istri dalam ayat (1), antara lain: a. Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. Menjaga keutuhan keluarga; c. Memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan per undang-undangan.
Pasal 25 saja penuh dengan nuansa domentikasi perempuan, dimana kondisi ini bernuansa “gelap” sejarah. Artinya kondisi yang disebutkan dalam pasal 25 sebenarnya sudah dilalui oleh wanita Indonesia dari segi adat, kultur maupun agama puluhan tahun silam.
Kemudian para perempuan Indonesia meperbaiki perannya bukan semata-mata urusan domestik akan tetapi urusan publik. Hal ini jelas semangat emansipasi yang digelorakan oleh Kartini pada RUU tersebut mendapatkan tekanan secara yuridis dan ini akan membahayakan peran sosial perempuan di luar rumah.
Memaknai Emansipasi yang digagas oleh Kartini sama dengan saat ini masih beragam. Ketika kita melihat literatur karya Cora Vreede-de Stuers (2008), yang berjudul “sejarah perempuan Indonesia, gerakan dan pencapaian”, maka dapat dilihat pemaknaan atas emansipasi adalah keluar dari segala diskriminasi terhadap perempuan. Emansipasi sebaiknya jangan keluar dari nilai-nilai yang dimiliki ke-Indonesia-an yaitu nilai agama, adat istiadat, kultur dan filosofi.
Kartini yang kala itu diselimuti adat Jawa, ingin membongkar “keterkurungan” kondisi adat keningratan, ketidaksamaan hak pendidikan oleh kungkungan politik kolonial. Inti emansiapsi yang dibangun oleh Kartini adalah “habis gelap terbitlah terang,” yang kala itu juga dipengaruhi oleh tafsir-tafsir agama Kyai Sholeh dengan kalimat yang terkenal “minadz-dzulumati ilannur” (QS. Al-Baqarah 257).
Kolaborasi makna agama dan adat dapat diambil benang merah untuk memperkokoh maksud dan cita-cita kartini yaitu membebaskan dari “keterkungkungan” sosial atau dalam makna lain secara sosiologis dapat diartikan sebagai kesadaran sosial atas kondisi Kartini semasa itu.
Pada masa sekarang tentu koridor yang dibangun oleh perempuan modern harus senantiasa tidak lepas dari inspirasi Kartini yang tetap menjaga dan merawat tradisi dan nilai-nilai agama namun mampu menangkap geliat modernitas untuk tidak ketinggalan mengikuti akselerasi dunia dalam segala bidang.
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU-KK), jika dipotret atas sebuah landasan agama, maka menurut fikih yang dikemukakan oleh Gusdur bahwa keadilan dan persamaan antarsesama manusia, termasuk di dalamnya antara laki-laki dan perempuan.
Islam memberikan apresiasi yang tinggi kepada perempuan dengan memberikan kemuliaan dan perlindungan sebagai payung kesetaraan gender. Islam meletakan dasar dan prinsip-prinsip dasar apresiasi terhadap manusia secara sempurna telah dengan tegas dijelaskan dalam al-Qur’an. Hak-hak dasar manusia tersebut dalam struktur masyarakat maupun di depan hukum disebutkan dalam QS. Al-Isra’; 70; QS. An-Nisa 78, 105, 107 dan 135; QS. Al-Mumtahanah 8).
Jika ditilik dari relasi suami-istri, secara sosiologis menunjukkan pintu diskriminasi dan membuka pintu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Posisi perempuan yang dimaksud dalam pasal 25 (3) menunjukkan perannya yang terkoptasi oleh kondisi domestik, atau berdiri atas bayang-bayang kuasa suami yang absolut.
Nampak sekali relasi suami-istri karena ikatan perkawinan memaksa istri tunduk pada pengabdian terhadap norma yang ada namun tanpa argumentasi sosiologis dan pertimbangan hak dan kewajiban diantara keduanya.
Ketika dilihat lebih pada konsep kesetaraan gender yang merupakan konsensus peningkatan kualitas pembangunan manusia, maka faktor kesetaraan gender harus dilakukan. Faktor keberhasilan pembangunan nasional memperhitungkan kesetaraan gender dengan perhitungan (Gender Development Index), perhitungan ini mempertimbangankan kesetaraan laki-laki perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan.
Faktor-faktor tersebut jelas tidak bisa dilewatkan, persoalan kesamaan hak laki-laki dan perempuan untuk tujuan kesejahteraan rumah tangga, sehingga berdampak pada suksesnya pembangunan nasional.
Perspektif dari faktor kesejarahan perjuangan perempuan dari masa kolonial dengan berdirinya PPI (Perikatan Perempuan Indonesia) pada tahun 1929 hingga berubah menjadi PPII (Perikatan perhimpunan Istri Indonesia) pada 1930, menunjukkan perempuan Indonesia telah memperjuangkan hadirnya kesetaraan sejak zaman kolonialisme.
Jika pada masa kemerdekaan ini, perempuan Indonesia kembali mendapat kekangan, maka jelas perlawanan atas kebebasan berfikir dan berpendapat akan dilakukan. Metamorfosa semangat Kartini tidak akan berhenti, sebab perempuan Indonesia sadar tentang makna pergerakan perempuan untuk keberlangsungan kemajuan bangsa.
Usulan RUU Ketahanan keluarga mesti mendapatkan eveluasi yang lebih akademik dengan tidak meninggalkan nilai agama, filosofis adat, dan kultural ke-Indonesia-an. Bangsa Indonesia mempunyai perjalanan panjang tentang sejarah perjuangan perempuan dalam membangun kehormatannya. Sejak zaman kolonial maupun pasca kolonial, perjuangan emansipasi perempuan telah membuktikan perempuan Indonesia mampu sejajar dengan kamu laki-laki.
Bukan hanya Kartini saja, mereka adalah Cut-Nyadien, Cut Mutia dan masih banyak perempuan-perempuan lain yang mempelopori gerakan feminisme sehingga mereka mampu mengiringi semangat kaum laki-laki dalam merebut kemerdekaan maupun mengisi kemerdekaan.
Oleh karena itu RUU-KK harus dibedah secara komprehensif agar semangatnya bukan mengekang emansipasi Kartini akan tetapi mengelaborasi makna feminisme yang lebih komprehensif untuk benar-benar dapat diimplementasikan dalam membangun keluarga Indonesia yang kuat dan berkualitas.
Ajaran Kartini sangat menginspirasi perempuan Indonesia dalam berkiprah apapun pada batas-batas agama, adat istiadat, kultur dan filosofi manusia Indonesia sampai saat ini.[]