Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah dan DPR telah sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta ditengah pandemi virus corona atau Covid-19. Mereka hanya menunda pembahasan satu klaster dari 11 klaster yang ada, yakni klaster ketenagakerjaan.
Bertepatan dengan hari buruh Internasional, DPP Konfederasi Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) menuntut sekaligus meminta kepada pemerintah untuk segera menarik seluruh draft RUU Cipta Kerja dari pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sebab, proses pembuatan draft RUU Cipta Kerja tidak transparan serta tidak melibatkan stakeholder ketenagakerjaan, sehingga kesan tertutup dan sembunyi-sembunyi yang tidak bisa dicegah.
“Sehingga sikap DPP Konfederasi Sarbumusi adalah meminta kepada pemerintah untuk menarik seluruh draft RUU Cipta Kerja dari pembahasan Panja Baleg,” kata Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi, Syaiful Bahri Anshori, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/5/2020).
Selain itu, Syaiful Bahri memaparkan substansi klaster ketenagakerjaan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja tidak berpihak dan merugikan pekerja. Pertama, penghapusan persyaratan pekerja kontrak/perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Sehingga pekerja kontrak akan sangat tidak terbatas yang sebelumnya paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang satu kali, kini pembatasan tersebut dihapus.
“Sehingga dikhawatirkan nantinya semua pekerja menjadi pekerja kontrak,” ungkapnya.
Kedua, aturan outsorcing dalam pasal 64-65 RUU Cipta Kerja dihapus namun tetap mempertahankan pasal 66, sehingga aturan outsorcing sesuai dengan KUHPerdata yang tidak dibatasi akan membuat semakin menjamur pekerja outsorcing/alih daya.
Ketiga, pengaturan upah minimum. Sebelumnya Upah Minimum Provinsi (UMP)/Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) serta Upah Minimum tingkat Kabupaten/Kota (UMK)/Upah Minimum Sektoral Kabupatem/Kota (UMSK), dihapus menjadi hanya UMP.
“Lalu diatur upah minimum padat karya sehingga semakin membuat upah menjadi eksploitatif, dan banyaknya pasal yang menyebabkan mis interpretasi karena menggunakan istilah yang ambigu,” ujarnya menjelaskan.
Keempat, yang sangat fatal adalah perubahan mendasar terkait konsep pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu juga dihapusnya pasal 151 yang menghilangkan peran semua pihak dalam segala upaya untuk mencegah terjadinya PHK. “Selain itu pasal tentang sweetener sulit diimplementasikan,” katanya.
Kepentingan Pengusaha
Syaiful Bahri juga menyoroti Tenaga Kerja Asing (TKA). Ia mengatakan selama ini mekanisme penggunaan TKA selalu dimulai dengan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Jika disetujui maka akan di proses kelengkapan sebelum mengeluarkan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Semua proses ini dilakukan secara online melalui online single submission (OSS) dan dikoordinatori oleh pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan koordinasi dengan BKKBM.
“Sekarang melalui pemerintah pusat yang notabenenya adalah presiden serta hanya menggunakan IMTA,” jelasnya.
Sebab itu, Syaiful Bahri Anshori menduga kemungkinan ada kekuatan pengusaha di balik penyusunan draft RUU Cipta Kerja. Hal ini dibuktikan ketika presiden menunda yang bereaksi pertama kali adalah Kadin dan Apindo.
Syaiful juga memaparkan dampak yang lebih besar bila RUU Cipta Kerja disahkan. Pertama, terjadinya sentralisasi perizinan di pemerintah pusat yang berimplikasi terhadap otonomi daerah. Kedua, perluasan bidang usaha tertutup serta penghapusan persyaratan investasi yang krusial. Ketiga dan keempat masalah di kluster ketenagakerjaan dan pemusatan kewenangan Presiden.
Selanjutnya ia memaparkan dampak politik perburuhan. Pertama, hilangnya serikat pekerja/serikat buruh karena semakin sedikitnya pekerja tetap. Kedua, semakin menjamurnya tenaga kerja asing, outsorcing dan menjamurnya pekerja kontrak. (Bie)
Editor: Bobby