Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menerapkan kebijakan darurat sipil untuk menekan laju penyebaran virus corona atau Covid-19 di tanah air. Presiden juga menyebut bahwa darurat sipil ini beriringan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Disatu sisi, pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Karantina Wilayah.
Disini timbul pertanyaan apakah ada hubungannya antara mencegah penyebaran Covid-19 dengan darurat sipil? Beberapa narasumber dibawah ini akan menjawabnya sekaligus menjelaskannya.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN Intan Fauzi mengatakan dalam Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaaan Kesehatan sudah dijelas diatur mengenai PSBB.
Pasal tersebut berbunyi “Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.”
Menurutnya, PSBB selama ini sudah berjalan seperti yang diatur dalam Pasal 59 ayat 3 yang berbunyi “Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.”
Lebih lanjut legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat VI (Depok, Bekasi) ini menjelaskan bahwa Covid-19 bisa diatasi dengan menerapkan Pasal 53-55 UU Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal tersebut diatur bahwa masyarakat ekonomi rentan maka ada kebutuhan dasar yang harus didukung pemerintah.
Sementara tambah Intan bahwa dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya, UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana maupun UU Kekarantinaan Kesehatan, wabah corona tidak termasuk bencana alam, melainkan bencana non alam.
Selain itu, katanya, dalam Perppu itu disebutkan bahwa darurat sipil dapat diterapkan apabila dalam kondisi pemberontakan, kerusuhan dan lainnya. Sehingga Intan menilai darurat sipil dengan Covid-19 tidak ada hubungannya.
“Covid 19 itu wabah penyakit, itu UU Kekarantinaan Kesehatan. Sementara UU Darurat Keadaan Bahaya, pemberontakan, kerusahan dan lainnya. Sehingga ko tidak garis lurus,” kata Intan Fauzi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (31/3/2020).
Dalam Perpu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya, tidak ada disebutkan mengenai pemenuhan kebutuhan pangan dan kesehatan oleh pemerintah yang dalam konteks tersebut diistilahkan sebagai penguasa darurat sipil.
Maka dari itu, Intan Fauzi lebih sepakat pemerintah menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk cegah Covid-19 dibandingkan menerapkan darurat sipil, meskipun kebijakan itu baru akan diambil pemerintah sebagai opsi terakhir. Pasalnya, tegas dia, dalam UU Kekarantinaan Kesehatan diatur negara wajib memenuhi kebutuhan pokok masyarakat karena akses ditutup petugas.
Hal terpenting dari menerapkan kebijakan karantina wilayah kata Intan bahwa pembatasan pergerakan orang cukup sampai tingkat kecamatan. Sebab apabila pembatasan sampai tingkat provinsi/kota maka pemasokan bahan pangan akan terkendala.
“Misalnya di Dapil saya Depok Bekasi sudah tidak ada lahan pertanian, sehingga kebutuhan pokok tergantung dari luar,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKB Taufiq R Abdullah meminta darurat sipil ini tidak perlu terlalu memperdebatkan. Pasalnya, hal itu masih dalam fase pertimbangan dan memerlukan rumusan rinci sebagai gudance seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara pemerintahan.
“Kita beri kesempatan kepada pemerintah untuk terus mencari jalan terbaik menangani wabah mematikan ini,” ujar Taufiq saat dihubungi terpisah.
Perlu Dipersiapkan
Menurut Taufiq, darurat sipil ini merupakan jalan atau opsi terakhir mencegah Covid-19. Bahkan lanjurnya ditegaskan bahwa pemerintah berharap tidak menerapkannya.
“Menurut saya, apapun yang dilakukan pemerintah, rujukannya adalah keselamatan nyawa manusia. Dalam hal ini, pemerintah sudah mengambil langkah dan metode yang tepat, yaitu pembatasan sosial dalam skala besar,” tuturnya.
Lebih lanjut legislator dari daerah pemilihah Jawa Tengah VII ini menjelaskan metode PBSS ini memungkinkan komando dari pusat bisa dijalankan lebih efektif daripada lockdown masing-masing wilayah. Karena dalam situasi seperti ini, katanya, betapa penting keseragaman dan kekompakan sikap, langkah dan kebijakan pemerintah.
Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini juga menilai Presiden Jokowi berpikir jauh ke depan jika PBss tidak efektif, terutama berkaitan dengan kepatuhan terhadap himbauan agar tidak keluar rumah kecuali penting, tidak berkrumun, tidak bersinggungan fisik, maka diperlukan kebijakan yang lebih tegas.
“Kebijakan tegas ini mungkin berdasarkan kenyataan sosial yang sedang kita hadapi, yakni belum awair nya masyarakat, bahkan sampai hari ini masih banyak tokoh lokal yang mengabaikan tingkat bahayanya virus corona,” ungkapnya.
Sebab itu, Taufiq menegaskan bahwa kebijakan darurat sipir perlu disiapkan sebagai langkah terakhir untuk mengantisipasi atas pelaksanaan kebijakan sebelumnya. “Kebijakan ini kan belum dikeluarkan, bahkan belum tentu diterapkan,” tegasnya.
Rapid Test
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PPP Muhammad Aras lebih sepakat pemerintah melakukan rapid test terhadap orang dalam pengawasan (OPD) dan pasien dalam pemantauan (PDP) Covid-19 dibandingkan menerapkan darurat sipil.
“Saran saya rapid test Covid-19 ramai-ramai covid 19. Kalau sudah tahu ya di karantina disana,” kata dia saat dihubungi terpisah.
Maka dari itu, legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan ini juga lebih sepakat pemerintah menerapkan kebijakan karantina wilayah seperti yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
“Ikuti saja UU Kekarantinaan kesehatan dengan isolosi terbatas. Darurat sipil ini agak berat,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi meminta agar kebijakan PSBB diterapkan disertai penerapan darurat sipil guna menghadapi wabah virus corona. Jokowi beralasan dengan disertai darurat sipil maka penanganan Covid-19 akan lebih efektif.
Hal ini disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait Laporan Gugus Tugas Covid-19 yang disiarkan langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3/2020).
“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi, sehingga saya sampaikan juga tadi bahwa perlu didampingi kebijakan darurat sipil,” ujar Jokowi.
Sementara juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menegaskan bahwa pemberlakuan darurat sipil dalam penerapan PSBB selama wabah virus corona adalah langkah terakhir yang dilakukan pemerintah.
“Pemerintah mempertimbangkan usulan darurat sipil supaya penerapan PSBB berjalan efektif. Namun penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak digunakan dalam kasus covid-19,” ujar Fadjroel melalui keterangan tertulis, kemarin. (Bie)
Editor: Bobby