Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Maria Farida Indrati, meminta kepada pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang konsep omnibus law untuk diterapkan di Indonesia. Pasalnya, kata dia, sangat sulit menyatukan berbagai materi yang terdapat dalam beberapa Undang-Undang (UU) kemudian disatukan dalam sebuah UU.
“Materi muatan yang berbeda, misalnya investasi. Perlu pikirkan kembali deregulasi. Ini suatu sistem baru, tapi jangan ambil dulu, di kaji dulu,” ujar Maria Farida dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR terkait penyusunan Prolegnas 2020-2024 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/11/2019).
Menurut Prof Maria, Omnibus Law (UU Omnibus Law) merupakan hal baru dalam khasanah perundang-undangan di Indonesia selama ini. Ia juga mengaku bahwa selama menekuni ilmu yang ia kuasai yakni perundangan-undangan, baru kali ini mendengar dan mengenal konsep omnibus law.
Setelah ia mencarinya dengan berbagai referensi, Omnibus Law dapat diartikan satu UU yang mengatur beraneka ragam substansi, yang dibentuk untuk memaksa eksekutif agar menerima semua ketentuan yang tidak terkait atau melakukan veto terhadap ketentuan utama.
Senada dengan makna yang terkandung dalam pengertian tersebut, Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya antara lain menyatakan “Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua UU besar. Yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Kecil Mikro Menengah.”
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengungkapkan, dalam draft pertama naskah akademik 2019 yang diajukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dikemukakan bahwa “Terhambatnya investasi di Indonesia atau sulitnya melakukan usaha di Indonesia disebabkan karena begitu banyak regulasi di bidang perizinan yang substansinya tidak harmonis, tumpang tindih bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Regulasi yang demikian menciptakan perizinan yang panjang dan berbelit sehingga berakibat pada iklim investasi di Indonesia menjadi rumit, tidak efektif, efesien serta tidak memberikan kepastian hukum. Pada akhirnya berpengaruh terhadap turunnya minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.”
Prof Maria menilai pembuat UU Omnibus Law dan revisi UU tidak akan selesai dalam 5 tahun ke depan. Dicontohkannya, UU Omnibus Law ini berbeda dengan Revisi UU KUHP yang materinya jelas mengenai tindak pidana kriminal. Sementara UU Omnibus Law membuat sebuah regulasi atau UU yang terdiri dari banyak subyek atau materi pokok untuk tujuan tertentu guna menyimpan suatu norma peraturan.
“Sulit menyatukan UU. 700 halaman lebih pasal yang diubah (draft dari Kemenko Perekonomian-red),” katanya.
Prof Maria menambahkan Omnibus Law ini akan mengubah sistem hukum di Indonesia karena konstitusi yang berlaku hanya mengenal UU. Sebab itu, tegasnya, perlu dikaji kembali hal-hal yang melandasi pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sehingga tidak akan terjadi gejolak di kemudian hari.
“Oleh karena berbagai macam UU yang berlaku saat ini mengatur berbagai macam subyek dari pusat sampai daerah serta berbagai kewenangan yang berbeda-beda,” terangnya.
Menanggapi hal itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Hendrik Lewerissa, menilai apa yang diutakan oleh Prof Maria tidak salah secara akademik. Namun, katanya, UU itu juga produk politik karena dibuat oleh DPR atas persetujuan Presiden. Begitu juga Presiden berhak mengajukan RUU ke DPR.
“Tetapi karena UU itu produk hukum dan politik, maka tentu ada solusi. Artinya pandangan ahli hukum, akademisi, praktisi hukum melihat perspektif tidak sama. Intinya saya menghormati pendapat Prof Maria,” kata Hendrik Lewerissa.
Saat ditanya apakah setuju dengan konsep Omnibus Law, anggota komisi VI DPR ini enggan mengomentarinya. Pasalnya, pemerintah belum menyerahkan naskah akademik termasuk draft UU nya ke DPR.
“Kita masih menunggu naskah akademik dari pemerintah termasuk draf UU nya. Kalau itu sudah sampai ke Baleg, baru kita pelajari,” katanya. (Bie)
Editor: Bobby