Jakarta, JurnalBabel.com – Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020, diwacanakan mengatur pembentukan lembaga peradilan khusus Pemilu.
Usulan tersebut menjadi polemik di masyarakat karena saat ini terkait sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres), sudah ada lembaga yang menanganinya. Yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Mahkamah Agung (MA).
Wacana ini sebenarnya bukan hal yang baru. Pasalnya, dalam Pasal 157 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sudah diatur perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus yang dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
Alasan yang melatarbelakangi usulan tersebut pertama mencegah kewenangan yang berlebihan dalam satu lembaga. Contoh kewenangan Bawaslu yang menangani sengketa proses pemilu. Dianalogikan, Bawaslu memiliki kewenangan untuk menjadi polisi, sekaligus jaksa dan hakim. Sebab, Bawaslu berwenang untuk menangani laporan sengketa dan dugaan pelanggaran pemilu, hingga menerbitkan rekomendasi.
Kedua, menumpuknya sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan hakim yang berjumlah sembilan orang, beban kerja MK menjadi sangat berat lantaran harus menangani seluruh sengketa hasil pemilu dari tingkat DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI, DPD RI, bahkan hingga sengketa Pilpres.
Dikhawatirkan, beban kerja MK akan menjadi lebih berat ke depan sebab ada wacana untuk kembali menyerentakkan pemilihan DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI, DPD, dan Pilpres di Pemilu 2024.
Ketiga, akibat banyaknya lembaga yang berwenang menangani sengketa terkait pemilu, banyak keputusan yang menjadi tumpang tindih. Contoh, sejumlah partai politik mengajukan uji materi di MA dan meminta supaya MA mengeluarkan fatwa yang membolehkan partai mengganti calon legislatif terpilih pemenang Pileg.
Padahal ketentuan tersebut telah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Untuk membedah apakah wacana ini diperlukan, anggota komisi II DPR, Supriyanto dan Mohamad Muraz akan menjabarkannya.
Supriyanto berpandangan tidak perlu membentuk lembaga peradilan khusus Pemilu, karena Pemilu itu arahnya mau diserentakan.
“Kalau peradilan pemilu dibentuk mau kerja apa? wong arahnya pemilu itu serentak, setelah pemilu mau kerja apa?” kata Supriyanto saat dihubungi, Senin (3/8/2020).
Lebih lanjut politisi Partai Gerindra ini mengatakan pembentukan peradilan khusus pemilu ini justru membuat permasalahan terkait pemilu semakin rumit. Sehingga ia lebih sepakat lembaga yang sudah ada diperbaiki kinerjanya.
“Membuat lembaga baru belum tentu fungsional,” ujarnya.
Supriyanto mencontohkan masa waktu penanganan sengketa Pemilu/Pilkada di MK selama 45 hari. Menurutnya, seharusnya sengketa pemilu itu harus segera diputuskan, tidak berlarut-larut untuk menjaga agar tidak ada kekosongan pemerintahan.
“Yang sekarang di MK ini sudah bagus menurut saya. Tinggal diperbaiki saja mana yang kurang,” katanya.
Sebab itu, kata Supriyanto, yang UU nya jangan dirubah selama yang terkait dengan sengketa pilkada biar ditangani MK.
“Saya kira sudah bagus. Tnggal ngatur yang terkait teknis saja. Ya mungkin waktunya sedikit dipercepat. Maksudnya yang penting adalah diperkaiki mekanisme terkait yang teknis teknis saja karena MK sudah bagus,” jelasnya.
Rekrut Hakim Peradilan Lain
Anggota Komisi II DPR Mohamad Muraz sependapat dengan Supriyanto bahwa tidak perlu lembaga baru.
“Rekrut saja hakim-hakim dari peradilan lain dengan seleksi yang baik dan kasih tambahan uang lembur untuk membantu sidang di MK. Setelah selesai kembalikan lagi ke lembaganya,” kata Muraz saat dihubungi terpisah.
Menurut politisi Partai Demokrat ini, sudah saatnya kita berpikir uang APBN dan APBD lebih pro untuk kesejahteraan rakyat dan kejayaan NKRI.
“Kalau terus-terusan membuat lembaga permanen jelas anggaran itu akan makin banyak untuk membiayai Lembaga tersebut. Terus mana dana untuk membangun dan untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya,” ujarnya.
Diukur Beban Kerja
Mantan Wali Kota Sukabumi ini menjelaskan membuat Lembaga itu normatifnya harus diukur beban kerjanya, dilakukan analisis management, analisis organisasi dan analisis jabatanya. Sehingga tidak membentuk karena emosional, alasan politis, atau ada kawan/team yang belum dapat jabatan.
“Nah kalau dibentuk pengadilan khusus pemilu kira-kira beban kerja dan waktu kerjanya pas tidak? Jangan-jangan kerjanya cuma 2 atau tiga bulan terus gajinya 5 tahun,” katanya.
Muraz mempertanyakan apa tidak cukup diadili oleh MK? Karena membentuk lembaga baru itu pasti memerlukan biaya. Seperti gaji pegawai, gedung dan pemeliharaanya, listrik, air, kendaraan dinas, membeli alat-alat kantor dan yang pasti memerlukan uang APBN yang banyak.
“Lebih baik mulai fokus APBN itu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai alinea ke 4 pembukaan UUD 45,” pungkasnya. (Bie)