Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menyikapi potensi terjadi peningkatan calon tunggal di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Pada Pilkada serentak 2018, terjadi 16 daerah dengan calon tunggal, sementara pada Pilkada 9 desember mendatang berpotensi terjadi 31 daerah dengan calon tunggal dari 270 daerah.
Menurut Zulfikar, hadirnya Pilkada dengan satu pasangan calon (paslon) secara aturan karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015.
“Putusan MK tersebut merupakan jalan keluar atas realitas yang ada demi menjaga keberlangsungan pemerintahan setiap 5 tahun sekali di daerah dan menegakkan hak konstitusional warga negara,” kata Zulfikar saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).
Meskipun Pilkada dengan satu pasangan calon terkesan meniadakan kompetisi dan kontestasi sebagai prinsip dalam demokrasi, lanjut Zulfikar, namun dengan keharusan Pilkada dengan satu paslon disandingkan dengan kotak kosong dan harus mencapai keterpilihan di atas 50 % suara, menandaskan bahwa warga negara yang punya daulat tetap diberi pilihan.
Selain itu, warga negara juga tetap diberi ruang untuk menyatakan kesetujuan dan atau ketidaksetujuan terhadap pasangan calon paslon tunggal tersebut. Hal ini kata politisi Partai Golkar ini terjadi pada Pilkada di Kota Makassar pada 2018.
“Jadi inilah bentuk kearifan kita sebagai bangsa. Inilah bentuk demokrasi partikular,” jelasnya.
Namun demikian, apabila ke depan ingin kompetisi dan kontestasi itu terjadi antar paslon dan warga negara semakin banyak punya pilihan, anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini menilai perlu ada pembaharuan.
Dari sisi aturan, Zulfikar memaparkan ada 4 hal yang perlu diperbarui. Pertama, ambang batas pencalonan ditiadakan. Artinya, setiap partai politik yang dapat kursi di DPRD bisa mengusung paslon.
Kedua, pemilihan kepala/wakil kepala daerah diserentakkan dengan pemilihan anggota DPRD karena kepala/wakil kepala daerah dan DPRD itu entitas pemerintahan daerah.
Ketiga, pembiayaan partai politik dari negara harus semakin besar agar parpol semakin bertanggungjawab kepada publik.
“Keempat, belanja kampanye dibatasi secara rasional, untuk fairnes dan kesetaraan serta mengeliminir prilaku electoral fraud akibat biaya politik sangat mahal,” paparnya.
Dari sisi institusi, dijelaskan Zulfikar bahwa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi dan pilar demokrasi, harus semakin bertindak sesuai fungsi dan misi yang diembannya. “Jangan sampai justru partai politik nanti yang merusak bahkan mematikan demokrasi itu sendiri,” ujarnya.
Dalam konteks elektoral fungsi dan misi parpol ditandaskan Zulfikar bahwa merekrut, mengkader, menseleksi, dan menyuguhkan kader mereka untuk menduduki jabatan publik. Terlepas bisa menang maupun kalah.
“Sehingga apapun yang akan terjadi fungsi dan misi partai politik tersebut harus dijalankan. Sebab komitmen dan konsistensi parpol dalam konteks ini pun menjadi penilaian publik,” pungkas legislator asal Jawa Timur ini.
(Bie)