Jakarta, JurnalBabel.com – Ahli hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) mampu menjadi pilar penjaga marwah demokrasi sekaligus sebagai benteng terakhir menegakan prinsip dan asas pemilu.
“Untuk menguji proses pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang tidak demokratis sebagai amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” kata Rullyandi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/2/2021).
Sampai saat ini MK telah menerima sebanyak 136 permohonan perselisihan hasil pilkada (PHPKada) sejak pengumuman pleno hasil Pilkada serentak 2020 oleh KPU di sejumlah daerah. Dari 136 permohonan yang masuk ke MK dari 116 daerah, ada 25 permohonan yang memang memenuhi ambang batas 0,5 hingga 2 persen sebagaimana ditentukan oleh Pasal 158 UU Pilkada.
Menurut dia, titik pandang MK terhadap ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) hakikatnya wajib mengacu pada konstitusionalitas.
“Norma pemilihan gubernur, bupati dan walikota sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Amandemen dalam pertimbangan hukum putusan sengketa pilkada,” tegasnya.
Rullyandi menandaskan, sepanjang frase kata dipilih secara secara demokratis dimaksudkan proses pemilihan gubernur, bupati dan walikota adalah bagian yang sangat fundamental.
“Proses pemilihan yang dimaksud adalah dalam arti yang hakiki dan ideal (kualitatif), bukan semata-mata hanya melihat pada hasil perolehan suara terbanyak (kuantitatif). Meskipun pembentuk UU telah mengakomodir berbagai sarana penyelesaian pelanggaran dan penegakan hukum melalui lembaga Bawaslu dan Sentra Gakkumdu,” pungkasnya. (Bie)