Jakarta, JurnalBabel.com – Kontekstualisasi nilai keadilan sosial dalam sistem hukum Indonesia melalui pendekatan “Economic Analisys Of Law“, menjadi tema orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Achmad.
Ia mengambil tema tersebut berdasarkan beberapa fakta-fakta. Pertama, dalam Al-quran sangat serius memperhatikan suatu keadilan yang memperolehnya bukan berdasarkan perasaan. Kedua, dalam Pancasila sebagai dasar negara mensyaratkan keadilan sosial harus diwujudkan secara nyata dalam konteks menjaga rasa kemanusiaan. Ketiga, konstitusi mengamanatkan Indonesia sebagai negara hukum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan.
Keempat, PBB pada 26 November 2007 mendeklarasi bahwa 20 Februari dijadikan sebagai hari keadilan sosial sedunia, dengan tujuan mengajak untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengucilan, ketidaksetaraan gender, pengangguran, hak asasi manusia dan perlindungan sosial. Kelima, sudah banyak ahli-ahli hukum yang menciptakan teori-teori tentang keadilan. Keenam, berdasarkan kenyataan sosiologis terjadi fenomena penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Fenomena tebang pilih dinodai ketidakadilan bahwa ada yang menyatakan hukum dan keadilan seperti sudah bercerai. Hukum Indonesia masih bersifat kelembagaan, instrumental saja yang pada akhirnya belum mampu wujudkan keadilan yang sejati,” kata Prof. Suparji dalam orasi ilmiahnya di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, Kamis (23/6/2022).
Lebih lanjut Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini memberikan solusi permasalahan di atas melalui pendekatan Economic Analisys Of Law, agar aturan hukum tidak tumpang tindih dan saling bertentangan.
Menurut Prof. Suparji, para penyusun Undang-Undang (UU) maupun para penyusun kebijakan, mestinya berfikir keefektifitasan dan efesiensi. Sehingga, proses hukum yang berjalan tidak sia-sia, harus dibatalkan, ditinjau ulang dan revisi. Pasalnya, lanjut dia, hukum yang tidak efesien akan menambah biaya transaksi.
“Biaya transaksi yang rendah dapat terjamin bila hukum berkualitas baik, peradilan dan birokrasi akan memiliki sarana yang baik seandainya aturan-aturannya juga baik,” ujarnya.
Pada saat ini, Prof. Suparji mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peningkatan ekonomi, kemudahan berbagai macam birokrasi maupun regulasi. Salah satunya dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memungkinkan pembentukan perusahaan perseorangan. Dengan demikian, UMKM itu bisa eksis dan bisa bersaing.
Yang paling aktual, Prof. Suparji juga apresiasi yang dilakukan Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
“Terlepas dari apresiasi tersebut menunjukan indikasi bahwa negara ini masih terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,” katanya.
Dalam perspektif hukum, Prof. Suparji mengatakan harus ada upaya sungguh-sungguh dan tidak sekedar jargon memberantas mafia peradilan, sehingga peradilan berlangsung secara ekonomis. Ketika proses hukum berjalan, mestinya penyidik, penuntut, hakim, ketika memutuskan suatu perkara berpikir bagaimana biaya perkaranya, kondisi Lapasnya, beban negara dan sebagainya. Sebab, banyak anggaran negara yang tersedot untuk mengatasi masalah hukum misalnya biaya makan di Lapas dan sebagainya.
Dalam konteks struktur hukum ini, ia mengharapkan penegakan hukum ini berlangsung transparan, akuntabel, berkualitas serta tidak memihak pada suatu pihak, tetapi berpihak pada kebenaran keadilan dan masyarakat.
“Penegak hukum ketika tindakan hukum harus perhatikan aspek ekonomi, harus berpikir keekonomian supaya negara ini tidak memiliki beban yang besar untuk menyelesaikan masalah hukum. Akan lebih baik misalnya uang-uang untuk sidang, Lapas, untuk beasiswa sekolah, membangun jalan dan sebagainya,” paparnya.
“Ini harus menjadi sebuah kesadaran nyata bagi kalangan penegak hukum sehingga tidak sekedar menjalankan tugas dan kewenangan tanpa berpikir beban negara,” tambahnya.
Dari sisi solusi perspektif budaya hukum, Prof. Suparji meminta mencegah terjadinya penegakan hukum yang berlebihan atau hukum yang saling melapor. Hal ini, kata dia, tidak lepas fenomena reformasi dengan era keterbukaan. Pada satu sisi ia apresiasi ada kesadaran hukum menyelesaikan melalui jalur hukum, tetapi jalur hukum akhirnya menjadi tempat untuk menyelesaikan yang mestinya budaya musyawarah, memaafkan yang ditonjolkan.
“Saling lapor itu tadi, yang terpenting adalah bagaimana melakukan analisis efesiensi, analisis cost yang dikeluarkan,” katanya.
Di akhir orasinya, Prof. Suparji berpesan untuk menegakan nilai-nilai ideologi Pancasila dan konstitusi. Menurutnya, hal itu adalah bagian dari ibadah yang amanah. (Bie)