Jakarta, JurnalBabel com – Pakar Hukum Pidana, Suparji Achmad, menegaskan bahwa seorang warga negara yang sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kepolisian atau Kejaksaan tidak bisa menjadi lawyer.
“Seorang advokat yang merupakan penegak hukum idealnya tidak pernah melanggar hukum. Maka, seseorang yang masih buron tidak bisa menjadi lawyer,” kata Suparji dalam keterangan persnya, Minggu (18/4/2021).
“Maka, buron yang sebelumnya bekerja sebagai advokat tidak bisa beracara atau bersidang baik mewakili dirinya atau orang lain di pengadilan. Meski demikian, statusnya sebagai tersangka tak otomatis hilang dengan adanya tindak pidana,” sambungnya.
Bahkan, ia menyebut bahwa seorang buron untuk sekedar mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) tidak diperkenankan. Apalagi beracara.
“Mustahil seseorang yang ditetapkan buron kemudian bisa menjadi konsultan hukum atau lawyer. Seorang DPO harus dibatasi hak hukumnya karena dia telah menihilkan proses hukum,” tegasnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa status DPO tidak ada tenggat waktunya. Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini menilai bahwa sampai kapanpun warga yang ditetapkan DPO akan menjadi buron.
“Kecuali yang bersangkutan sudah meninggal dunia atau tertangkap pihak kepolisian. Maka status DPO akan gugur dengan sendirinya,” jelasnya.
Di tingkat penyidikan, keputusan untuk mengumumkan status DPO haruslah mengacu pada pengetahuan sesuai hukum. Orang yang dicari harus diyakini terlibat sebagai tersangka tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup, dan diancam dengan pasal-pasal pidana yang dipersangkakan kepadanya, setelah diputuskan melalui proses gelar perkara terhadap perkara yang sedang dilakukan penyidikannya.
“Dan seseorang yang dipersangkakan sebagai pelaku tindak pidana sudah dipanggil secara patut namun yang dipanggil tanpa alasan yang sah tidak memenuhi panggilan pihak penyidik,” tuturnya.
Terkait mekanisme pemanggilan advokat oleh kepolisian, kata Suparji, pada dasarnya memperhatikan menghormati profesi advokat. Akan dikaji apakah pemanggilan ini berkaitan dengan profesi advokat atau sumpah jabatan advokat.
“Jika berkaitan, maka pemanggilan tidak dapat dilakukan. Akan tetapi, jika pemanggilan karena tindak pidana umum dan tidak berkaitan dengan kode etik advokat serta UU Advokat, maka pemanggilan dapat dilakukan,” tutupnya.
Memperhatikan mekanisme tersebut, maka advokat mendapat posisi yang mulia dan diwajibkan menjaga kemuliaan tersebut, tidak boleh ada perbuatan yang tercela.
Jika menjadi tersangka, berarti diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan minimal dua alat bukti, maka secara etis, moral atau tidak memiliki legitimasi moral untuk beracara atau membela seorang yang menghadapi masalah hukum. (Bie)