Jakarta, JurnalBabel.com – Pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada Pilkada 2024 sudah resmi ditutup pada 29 Agustus lalu. Banyak hal kejadian menarik yang perlu dikritisi agar pesta demokrasi di tingkat lokal itu dapat melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas serta konteslasi politik yang sehat kedepannya.
Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio, memberikan dua catatan sekaligus harapan agar pelaksanaan Pilkada serentak kedepannya lebih baik dan berkualitas.
Pertama, pria yang biasa disapa Hensat ini berharap pelaksanaan Pilkada kedepannya tidak berdekatan dengan pelaksanaan Pilpres, dimana pada tahun ini Pilpres dilaksanakan pada 14 Februari seperti yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Sementara Pilkada serentak dilaksanakan pada 27 November 2024 yang merupakan amanat dari UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Hensat berharap demikian karena partai politik atau parpol yang berkoalisi tergabung di Pilpres, enggan keluar dari koalisi tersebut di Pilkada dalam mengusung pasangan calon kepala daerah. Pasalnya, kata Hensat, parpol tersebut takut kehilangan jatah atau kursi menteri di kabinet pemerintahan yang baru.
Sebagai contoh di Pilkada Jakarta 2024. Parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju di Pilpres 2024, yakni Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, mengusung Ridwal Kamil – Suswono. Bahkan pasangan tersebut juga didukung oleh parpol koalisi yang bersebrangan dengan Koalisi Indonesia Maju, yakni NasDem, PKS, PKB, PPP.
Alhasil, PDIP mengusung kader internalnya, yakni Pramono Anung – Rano Karno, tanpa berkoalisi dengan parpol lain.
“Semoga kedepan ada 2 hal catatan saya. Pertama, jangan lagi ada deh Pilkada dekat-dekat Pilpres, ribet. Semua tidak ada yang mau keluar dari koalisi karena takut kehilangan kursi menteri,” kata Hensat dalam video di chanel youtubenya Hendri Satrio # Hensat, Jumat (30/8/2024).
Sebab itu, Hensat mengusulkan agar Pilkada dilaksanakan dua tahun atau dua setengah tahun pasca Pilpres. Hal itu bertujuan agar suasana koalisi atau perpolitikan Pilpres sudah mereda. Alhasil, parpol-parpol berani keluar dari koalisi dan mengusung pasangan calon kepala daerah, tanpa dibayang-bayangi jatah kursi di kabinet pemerintahan.
“Jadi kalau bisa pakai teori 02, 2/. Yang artinya 2 tahun setelah Pilpres lah, sudah mereda,” ujar dosen Universitas Paramadina ini.
Catatan kedua, Hensat berharap tidak ada lagi batas atas syarat bagi parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan calon kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota).
Berdasarkan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 atas uji materi UU Pilkada, parpol atau gabungan parpol dapat mengusung calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, mereka harus mendapatkan minimal jumlah suara sah tertentu dalam Pemilu DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
“Kedua, batas atas jadi tidak ada lagi itu beli-beli partai. Sekarang misalnya batas atas 6,5 persen, 7,5 atau 8,5 persen, misalnya ada batas atas 40 persen misalnya. Jadi tidak semuanya dalam 1 koalisi,” jelas Hensat.
“Bro sorry gw gak bisa lagi tambah partai politik, karena kalau lo nambah lewati 40 persen dan akhirnya gw bisa melanggar UU. Jadi gw nggak terima, silakan yang lain,” pungkas Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKopi) itu.
Berikut persyaratan calon gubernur berdasarkan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, jika jumlah pemilih (DPT) di provinsi:
Hingga 2 juta, partai harus memiliki minimal 10% suara sah.
Antara 2-6 juta, minimal 8,5% suara sah.
Antara 6-12 juta, minimal 7,5% suara sah.
Di atas 12 juta, minimal 6,5% suara sah.
(Bie)