Jakarta, JurnalBabel.com – Partai Buruh mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa kampanye dan mengubah definisi kampanye pada pelaksanaan Pemilu 2024.
Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin khawatir jika hal tersebut tidak dilakukan, maka konflik antar-parpol dapat terjadi.
“Pascaditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024, partai politik rawan mengalami gesekan dan bahkan dapat dikriminalisasi akibat dianggap melanggar aturan kampanye. Pemicunya, pembatasan masa kampanye,” ujar Said dalam keterangannya, Selasa (20/12/2022).
Menurut Said, masa kampanye yang singkat dapat menyebabkan partai politik mencari cara alternatif untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi yang dilakukan, sebelum dimulainya masa kampanye.
“Problemnya, kegiatan sosialisasi sering dipahami secara keliru oleh masyarakat dengan mempersamakan maknanya dengan kegiatan kampanye. Kesalahpahaman ini tak jarang, bahkan muncul di lingkungan lembaga pengawas pemilu,” katanya.
Said menilai untuk tujuan tertentu, partai politik baik secara langsung atau dengan meminjam tangan masyarakat dapat saja melaporkan kepada Bawaslu mengenai kegiatan sosialisasi partai politik lain.
Caranya dengan mengajukan alasan parpol tersebut telah melakukan kegiatan kampanye di luar jadwal.
Menurut Said, terhadap kondisi itu, partai politik yang dilaporkan akan mengalami kerugian karena merasa citra partainya telah dirusak oleh laporan tersebut.
Situasi ini dapat memicu perlawanan dari parpol yang dilaporkan.
Aksi saling lapor bahkan saling serang antar-parpol dikhawatirkan dapat mengarah pada suasana pemilu yang kurang kondusif.
“Jadi, eskalasi kerawanan pemilu dikhawatirkan menjadi makin meningkat ketika laporan yang bermotif politik secara serampangan diproses oleh Bawaslu dan menjadi isu di pemberitaan. Maka makin ramai itu isunya.”
“Nah, kondisi yang semacam itu berpotensi menggeser dan bahkan memperluas spektrum konflik yang semula hanya antar-parpol menjadi ketegangan antara partai politik versus Bawaslu,” ucapnya.
Said lantas memaparkan pengalamannya sebagai ahli politik dan hukum kepemiluan selama ini.
Dia menyatakan banyak menemukan kasus, dimana Bawaslu sering gagal membedakan antara kegiatan kampanye dan kegiatan sosialisasi partai politik.
Hal tersebut sangat berbahaya karena jika kegiatan sosialisasi dimaknai sebagai kegiatan kampanye, maka kegiatan sosialisasi yang dilakukan sebelum dimulainya masa kampanye, berpotensi digolongkan sebagai tindak pidana pemilu oleh Bawaslu.
“Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi munculnya kerawanan pemilu dan untuk menciptakan iklim pemilu yang kondusif, Partai Buruh mengajukan sejumlah usulan kepada KPU,” ucapnya.
Usulan tersebut di antaranya, dalam Peraturan KPU tentang kampanye yang kelak akan disusun, perlu dibuat pengaturan yang dapat mempertegas kriteria kegiatan kampanye agar tidak menimbulkan multi-tafsir yang menyebabkan Bawaslu dapat secara bebas memaknai definisi kampanye menurut pemahamannya sendiri.
Said meyakini dengan cara ini, akan dapat dibedakan secara jelas mana kegiatan parpol yang tergolong sosialisasi, dan mana yang sudah tergolong sebagai kegiatan kampanye.
“KPU saya kira juga perlu mengubah peraturan mengenai jadwal tahapan pemilu dengan menentukan masa kampanye dalam kurun waktu yang wajar.”
“Agar partai politik peserta pemilu dengan bebas dan tanpa rasa takut dapat melaksanakan tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui kegiatan kampanye dan pada saat yang sama parpol dapat memenuhi hak rakyat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya tentang peserta pemilu dalam kurun waktu yang memadai,” katanya.
Untuk diketahui, masa kampanye legislatif di Pemilu 2024 hanya akan berlangsung selama 52 hari saja.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 276 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7/2017 Tentang Pemilihan Umum (Perppu 1/2022).
Kemudian, juga diatur pada Peraturan KPU Nomor 3/2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 (PKPU 3/2022).
Said menilai masa kampanye 50 hari jelas tidak memadai bagi partai politik peserta pemilu, terutama bagi parpol pendatang baru dan juga untuk masyarakat.
Sebab, dibandingkan dengan masa kampanye pada pemilu-pemilu sebelumnya, terlihat ada ketidakwajaran.
“Masa Kampanye pemilihan umum Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2009 berlangsung 299 hari atau hampir 10 bulan.”
“Di Pemilu 2014 dilaksanakan 450 hari atau 15 bulan dan di Pemilu 2019 digelar selama 203 hari atau kurang lebih 7 bulan,” kata Said.
Dia menilai masa kampanye Pemilu 2024 dapat diperpanjang sampai dengan 183 hari atau sekira 6 bulan.
“Perhitungan itu diperoleh berdasarkan hasil simulasi yang dibuat oleh Partai Buruh dengan tetap merujuk pada ketentuan yang ditetapkan dalam Perppu 1/2022 dan PKPU 3/2022,” kata Said Salahudin. (Bie)