Jakarta, JurnalBabel.com – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diterbitkan Presiden Jokowi pada 4 Mei 2020, dinilai tidak cukup mengakomodir seluruh kebutuhan penundaan Pilkada Serentak 2020 karena tidak mengatur terkait anggaran. Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19, dipastikan kondisi ekonomi Indonesia tidak normal.
Belum lagi ada hasil kesepakatan rapat kerja Komisi II DPR dengan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP beberapa waktu lalu, yakni kepada kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak 2020 merelokasikan dana Pilkada Serentak 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19.
Sementara Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang itu hanya mengatur tiga hal pokok yang dituangkan dalam satu pasal perubahan dan dua pasal tambahan.
Satu pasal perubahan mengatur tentang kemungkinan dilaksanakannya Pilkada lanjutan apabila terjadi bencana nonalam. Sedangkan, dua pasal tambahan mengatur tentang ditundanya Pilkada hingga Desember 2020 akibat pandemi Covid-19, serta kewenangan KPU dalam menunda dan melanjutkan Pilkada.
Pertanyaannya kini adalah pasca Perppu ini disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR nantinya, masih perlukah UU Pilkada hasil dari Perppu ini di revisi?
Anggota Komisi II DPR Mohamad Muraz mengatakan dengan terbit Perppu Pilkada ini berarti pemerintah konsisten dengan hasil kesepakatan Raker di Komisi II. Artinya, Pilkada Serentak bisa dilaksanakan Desember 2020 atau diundur lagi atas kesepakatan Pemerintah, DPR dan penyelenggara Pilkada tergantung situasi Covid-19.
“Perppu ini nantinya tinggal mendapat persetujuan DPR. Sedangkan mengenai UU Pilkada memang rencananya akan direvisi terlepas dari Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tersebut,” kata Muraz saat dihubungi, Kamis (7/5/2020). Revisi UU Pilkada sendiri masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) 2019-2024.
Lebih lanjut Muraz mengungkapkan Komisi II berencana mengatur kembali UU Pemilu yang akan menggabungkan UU Pemilu dan UU Pilkada. “Artinya, nantinya di Indonesia hanya akan ada satu UU Pemilu yang mengatur Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilukada,” ungkap politisi Partai Demokrat ini.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020. RUU di inisiatif oleh DPR.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Teddy Setiadi menambahkan dasar hukum penundaan Pilkada serentak 2020 yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sementara itu, paparnya, terdapat empat konsekuensi dari lahirnya RUU Pemilu jika disahkan menjadi UU.
Pertama, mencabut UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada. Kedua, mencabut UU No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan UU No 1 tahun 2014. Ketiga, mencabht UU No. 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No 1 tahun 2015.
“Keempat, mencabut UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umun,” paparnya. Artinya, dengan dibuatkannya RUU Pemilu yang nantinya disahkan menjadi UU maka UU Pilkada otomatis tidak berlaku dan tidak perlu dilakukan revisi pasca Perppu Pilkada disahkan menjadi UU.
Sementara itu, anggota komisi II DPR Supriyanto mengatakan konstruksi dari Perppu Pilkada sifatnya hanya memberikan tambahan sebagai payung hukum penundaan Pilkada Serentak 2020 . Dengan demikian, hal yang terkait dengan substansi dan materi dari pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak ada perubahan dan masih berlaku sepanjang tidak ada perubahan.
“Termasuk pengaturan yang terkait dengan masalah anggaran Pilkada,” jelas Supriyanto saat dihubungi terpisah.
Lebih lanjut Politisi Partai Gerindra ini mengatakan anggaran Pilkada serentak berdasarkan regulasi bersumber dari APBD sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang Bersumber dari APBD.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur ini memaparkan tiga persoalan penghambat penandatanganan anggaran Pilkada dalam proses Naskah Perjanjian Hibah Daerah atau NPHD. Pertama, Pemda masih menunggu Kemendagri yang menegaskan dan penjelaskan rujukkannya Permendagri 54/2019. Kedua, Pemda menghendaki pencantuman standard pembiayaan.
“Tiga, Pemda menunggu keputusan KPU dalam menetapkan jumlah TPS di masing masing Provinsi, Kabupaten/Kota,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby