Jakarta, JURNALBABEL – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi pemblokiran media sosial (Medsos) yang dilakukan pemerintah beberapa hari terakhir sejak kerusuhan di depan Kantor Bawaslu, Selasa (21/5/2019). Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi pemblokiran ini dilakukan secara gegabah dan sembrono.
Tulis mengatakan, pemblokiran yang dilakukan melanggar hak-hak publik yakni mendapatkan informasi. Pemblokiran juga merugikan secara ekonomi bagi masyarakat yang memiliki usaha jual beli online.
“Jangan ingin menangkap seekor tikus tapi dengan cara membakar lumbung padinya. Pemblokiran itu secara sektoral melanggar UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta UU sektoral lainnya, dan secara general melanggar UUD 1945,” kata Tulus di Jakarta, Senin ( 27/5/2019).
Ia melanjutkan, pemerintah seharusnya tidak melakukan pemblokiran tanpa parameter dan kriteria yang jelas. Menurut Tulus, ke depannya jangan sampai pemblokiran ini menjadi preseden buruk pembrangusan suara publik yang dijamin oleh konstitusi.
“Tidak bisa dikit-dikit blokir. Pemblokiran hanya bisa ditoleransi jika dalam keadaan darurat, dan parameter darurat harus jelas dan terukur,” kata Tulus.
Selain itu, pemerintah harus mampu menjelaskan kepada publik manfaat dan efektivitas pemblokiran tersebut. Jangan sampai pemblokiran yang sudah merugikan banyak pihak tersebut tidak mempunyai efek signifikan. Lagi pula, lanjut dia, saat ini masyarakat banyak yang menggunakan VPN untuk mengakali pemblokiran.
Saat ini, media sosial, whatsapp dan sejenisnya, kata Tulus, telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya untuk melakukan aktivitas sosial, tetapi untuk menunjang aktivitas kerja dan aktivitas perekonomian. Oleh sebab itu, harus dilakukan evaluasi dari pemblokiran ini terus menerus.
Langgar Hak Publik
Sementara itu, Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan pembatasan akses media sosial melanggar hak publik. Hak publik yang dilanggar adalah terbatasnya informasi yang bisa diakses oleh publik.
Menurutnya, pemerintah sebagai pelayan negara jangan sampai membuat kebijakan yang merugikan masyarakat. Dalam hal ini pembatasan media sosial tentu akan berdampak pada segala aspek di masyarakat. Terlebih media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
“Kebijakan pembatasan penggunaan media sosial yang dilakukan oleh pemerintah menurut saya kurang arif dan tidak proporsional karena kemudian itu melanggar hak-hak publik untuk memperoleh informasi secara terbuka,” kata Trubus di Jakarta.
Trubus mengatakan seharusnya pemerintah tidak menganggap semua pengguna media sosial dan aplikasi pesan singkat akan menyebarkan konten Aksi 22 Mei.
Bagi Trubus, pengguna media sosial di Indonesia bersifat majemuk atau beraneka ragam. Oleh karena itu seharusnya, pemerintah tidak sekonyong-konyong membatasi akses media sosial karena menganggap seluruh pengguna media sosial akan menyebarkan konten Aksi 22 Mei.
“Warga negara merasa dirugikan karena tidak semua orang mengirimkan gambar-gambar negatif. Memang ada yang berkaitan dan ada juga yang tidak berkaitan dengan Aksi 22 Mei. Tapi seharusnya jangan hantam kromo dengan menganggap semua foto dan video berkaitan dengan Aksi 22 Mei,” tandasnya.
Trubus mengatakan pembatasan akses media sosial ini merugikan warga yang tidak peduli dengan Aksi 22 Mei. Pembatasan media sosial mengganggu aktivitas seperti komunikasi pekerjaan dan penjualan melalui media sosial.
“Karena mungkin profesi dan pekerjaannya berkaitan dengan segala hal aspek kepentingan publik. Jangan bilang seolah misalnya WhatsApp dianggap semuanya isi 22 Mei jadi dibatasi. Ini kan fungsi dari pemerintah yang melayani publik tapi sekarang malah merugikan publik,” ucap Trubus.
Tunggu Kondusif
Sementara itu Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, mengatakan pemulihan akses ke media sosial (Medsos) dan layanan perpesanan masih menunggu suasana kondusif. Suasana kondusif berdasarkan masukan dari pihak keamanan dalam hal ini TNI dan Polri.
Hal ini dikatakan menyusul pemblokiran akses media sosial dari aksi kericuhan 22 Mei kemarin.
“Tunggu kondusif, yang bisa menyatakan suasana kondusif atau tidak tentu dari masukan pihak keamanan. Dari sisi intelijen, sisi Polri, sisi TNI, kalau sudah kondusif kita akan fungsikan kembali fitur-fitur karena saya sendiri merasakan dampak yang saya buat sendiri,” ujar Rudiantara di Jakarta.
Sebelumnya, Rudiantara menjelaskan fitur yang dibatasi atau dinonaktifkan adalah fitur untuk mengunggah video dan foto.
“Sistem komunikasi voice (suara) nggak masalah. Yang kita freeze-kan (bekukan) sementara yang tidak diaktifkan itu video, foto dan gambar. Karena secara psikologi video dan gambar itu bisa membangkitkan emosi,” jelasnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Risman Septian