Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, meminta pemerintah berani dan tegas mengumumkan perusahaan pelanggar ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak goreng. Bagi perusahaan yang terbukti melanggar, pemerintah juga harus berani menjatuhkan sanksi tegas untuk memberikan efek jera.
Dalam kebijakan DMO, Kementerian Perdagangan mewajibkan produsen CPO dan olein untuk mendistribusikan 20% produksinya ke pabrik minyak goreng lokal, dengan harga Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk olein. Harga ini ditetapkan agar produsen bisa menjual minyak goreng yang terjangkau oleh mayoritas konsumen.
Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, sebelumnya mengatakan akan mencabut izin ekspor CPO bagi pengusaha sawit yang melanggar kewajiban DMO 20% CPO untuk kebutuhan dalam negeri dan DPO sesuai harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng.
“Selain larangan ekspor, pemerintah juga harus berani mengumumkan perusahaan mana saja yang melanggar, sehingga publik bisa mengetahuinya secara transparan,” kata Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/2/2022).
Menurutnya, pengumuman perusahaan pelanggar kebijakan DMO bisa menekan kartel minyak goreng agar mengakhiri praktek oligopoli bisnis minyak goreng di dalam negeri.
Seperti disinyalir oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bahwa meroketnya harga minyak goreng dalam beberapa waktu terakhir akibat praktek kartel yang dijalankan empat produsen minyak goreng terbesar.
KPPU yakin kartel minyak goreng lah yang mendikte harga hingga mencapai Rp 21.000 per liter atau hampir dua kali lipat harga eceran tertinggi (HET). KPPU juga mensinyalir, kartel minyak sengaja membatasi pasokan minyak goreng murah yang dicanangkan pemerintah dengan tujuan mengontrol harga.
Selama Januari lalu, pemerintah menjalankan kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter. Saat itu pemerintah meminta produsen besar untuk mendistribusikan 11 juta liter minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter. Namun Mendag Lutfi menuding produsen CPO tidak mematuhi kebijakan itu karena kenyataannya yang tersedia di pasar hanya 4,7 juta liter.
“Ini menyebabkan terjadinya kelangkaan pasokan minyak goreng satu harga dan memicu panic buying. Dan faktanya, pemerintah tidak berani tegas terhadap kelompok kartel ini. Ini ada apa?,” tanya politisi PKS ini.
Berdasarkan hasil pengusutan KPPU, kelompok kartel yang menguasai 46,5 persen pasar minyak goreng nasional tersebut, mereka menaikkan harga di waktu yang bersamaan, dengan besaran kenaikan yang hampir sama.
KPPU juga memiliki bukti-bukti adanya kartel dan praktik oligopoli perdagangan minyak goreng melalui kesepakatan diantara produsen terbesar minyak goreng.
“Keempat perusahaan kartel mengendalikan harga dan pasokan karena merupakan pelaku usaha terintegrasi yang memiliki perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, dan pabrik minyak goreng. Ini jelas moral hazard. Pemerintah harus berani dan tegas,” pungkasnya. (Bie)