Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, menyoroti rencana pemerintah mengutak-atik alokasi dana public service obligation (PSO) kepada BUMN transportasi dengan mencabut subsidi bagi sebagian pengguna transportasi publik.
Amin mengatakan, pencabutan subsidi terutama bagi sebagian pengguna commuter line atau kereta listrik bisa menurunkan minat hijrah pengguna kendaraan pribadi. Dampak buruknya, penggunaan kendaraan pribadi akan tetap tinggi, sehingga upaya menurunkan penggunaan BBM atau fossil fuel serta penurunan emisi gas buang sulit berhasil.
Selain itu, kemacetan di wilayah perkotaan akan makin sulit terkendali. Masyarakat harus menderita kerugian berupa pemborosan biaya BBM, waktu, dan tenaga akibat kemacetan serta risiko kecelakaan lalu lintas.
“Pencabutan subsidi dengan dalih pemberlakuan tarif berdasarkan status sosial ekonomi adalah kemunduran bagi upaya bangsa ini memperkuat pengelolaan transportasi publik,” kata Amin dalam keterangannya, Selasa (10/1/2023).
Menurut politisi PKS ini, subsidi pada angkutan umum massal itu merupakan bentuk insentif bagi masyarakat, termasuk mereka yang berkontribusi pada upaya mengatasi kemacetan dan menurunkan polusi udara.
Jika ingin animo untuk beralih ke transportasi itu tinggi, menurut Amin, mestinya pemerintah tidak memilah-milah siapapun penumpang umumnya. Belum lagi persoalan data siapa saja yang nantinya ditetapkan sebagai penerima subsidi.
Amin menilai pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk membenahi manajemen data kependudukan karena seringkali terjadi pemberian bantuan sosial ataupun subsidi yang tidak tepat sasaran.
“Jika persoalan sesungguhnya terkait keterbatasan anggaran, pemerintah mestinya tidak perlu memberikan subsidi untuk kendaraan listrik. Lebih baik dana sebesar Rp 5 triliun diberikan untuk perbaikan dan pembenahan transportasi umum,” tegasnya.
Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu pun meminta pemerintah mengalihkan insentif untuk kendaraan listrik kepada angkutan umum perkotaan maupun angkutan jalan perintis.
“Itu akan sangat membantu karena mobilitas masyarakat terbesar ada di sektor transportasi darat,” ungkapnya.
Merujuk data Kementerian Keuangan, tahun 2023 kontrak PSO untuk transportasi publik sebesar Rp 2,6 triliun, turun dibanding tahun 2022 sebesar Rp 2,8 triliun. Kontrak PSO terbesar tersebut diberikan untuk pelayanan KRL Jabodetabek Rp 1,6 triliun (64,27 persen).
Selanjutnya untuk KA Jarak Dekat Rp 466,2 miliar (18,29 persen), KA Jarak Sedang Rp 216,7 miliar (8,50 persen), KRD Rp 152 miliar (5,97 persen), KRL Jogja-Solo Rp 53 miliar (2,11 persen), KA Jarak Jauh Rp 12,4 miliar (0,49 persen), dan KA Lebaran Rp 9,4 miliar (0,37 persen).
(Bie)