Jakarta, JurnalBabel.com – Bank Indonesia (BI) akhirnya mengambil langkah tepat dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pekan ini.
Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, mengapresiasi langkah BI yang mulai merespons sinyal pelemahan ekonomi.
Namun, di tengah lesunya daya beli masyarakat dan ancaman resesi global, langkah ini baru seperti segayung air di ladang yang kering.
“Ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja.
Data BPS terbaru menunjukkan penjualan mobil anjlok 18%, pertumbuhan kredit konsumen merosot ke level terendah dalam tiga tahun, sementara 60% pelaku UMKM mengeluhkan kesulitan akses pembiayaan. Yang lebih memprihatinkan, survei terbaru mencatat 12% keluarga kelas menengah kita kini kesulitan memenuhi kebutuhan pokok,” bebernya.
Wakil Ketua Fraksi PKS itu mengaku memahami kekhawatiran BI terkait stabilitas rupiah dan inflasi. Namun, justru di saat inflasi inti berada di level rendah 2,37% inilah kita harus lebih berani bertindak.
Ia mencontohkan pengalaman Thailand pada awal 2024 yang patut menjadi pelajaran. Mereka berhasil keluar dari resesi dengan kombinasi penurunan suku bunga dan stimulus fiskal besar-besaran senilai 2%-3% dari PDB.
Pada awal 2024, Thailand sempat terancam resesi akibat kontraksi ekonomi dan tingginya utang rumah tangga (~88% PDB). Namun, kuartal I 2025 Thailand mencatat pertumbuhan +1,5% yoy. Pemerintah Thailand merespons dengan program “Digital Wallet” senilai 500 miliar baht (2,7% PDB), dengan memberi 10.000 baht kepada jutaan warga untuk mendorong konsumsi.
Bank Dunia mencatat program ini berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Thailand sebesar 0,5–1,6 poin persentase terhadap GDP. Bank of Thailand juga memangkas suku bunga 25 bps menjadi 2,25% pada Oktober 2024, untuk meringankan beban kredit dan mempercepat pemulihan ekonomi di tengah tekanan konsumsi dan pinjaman.
“Kita patut bersyukur ekonomi Indonesia tidak mengalami kondisi separah Thailand. Namun pemerintah tetap perlu menyiapkan langkah antisipasi untuk mencegahnya,” ujarnya.
Amin pun menyodorkan tiga langkah konkret kebijakan yang bisa diambil. Pertama, pemerintah perlu segera meluncurkan paket stimulus fiskal yang menyasar langsung akar masalah. Bukan sekadar insentif sektoral, tapi bantuan nyata berupa subsidi BBM untuk angkutan umum, keringanan PPh 0% untuk UMKM, dan program bantuan pangan beras untuk 18,27 juta keluarga paling rentan.
Kedua, BI perlu mendorong perbankan lebih agresif menyalurkan kredit produktif. Sudah waktunya suku bunga KUR diturunkan di bawah 5%, dengan persyaratan yang lebih manusiawi bagi usaha mikro. Jangan sampai kebijakan moneter longgar justru hanya menguntungkan korporasi besar.
Ketiga, Indonesia butuh terobosan di sisi ketenagakerjaan. Kenaikan UMP 2025 yang hanya 3,2%—di bawah inflasi riil—telah membuat upah pekerja tergerus. Inflasi riil adalah tingkat inflasi aktual yang dirasakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu merujuk pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang paling berdampak langsung pada masyarakat, seperti harga beras, tarif listrik dan transportasi, dan biaya sekolah dan kesehatan.
Pemerintah harus mempertimbangkan skema insentif khusus bagi perusahaan yang mempertahankan lapangan kerja.
“Kabar baiknya, kita punya ruang gerak. Rasio utang yang masih di bawah 40% PDB dan cadangan devisa sebesar USD 152,5 miliar memberi kita modal cukup untuk bertindak. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian politik untuk mengambil langkah-langkah besar,” ungkapnya.
Amin mengaku siap mendukung segala kebijakan progresif melalui fungsi anggaran dan pengawasan di DPR.
“Momentum pemulihan ini tidak boleh disia-siakan, sebelum jendela kesempatan tertutup dan ekonomi kita terjebak dalam stagnasi berkepanjangan,” pungkasnya.