Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo atau Jokowi didesak membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen untuk kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kasus tersebut sudah di ultimatum oleh Presiden Jokowi ke Kapolri Tito Karnavian selama tiga bulan sejak 19 Juli 2019, namun hingga kini belum ada kejelasannya.
Padahal kasus penyiraman yang terjadi pada 11 April 2017, saat Novel Baswedan usai melaksanakan sholat berjamaah di Masjid dekat rumahnya di daerah Kepala Gading, Jakarta Utara.
Ahli hukum pidana, Suparji Achmad, berpendapat desakan agar Presiden Jokowi membentuk TGPF kasus Novel Baswedan itu wajar dilakukan, mengingat tim yang dibentuk selama ini belum menghasilkan temuan dan rekomendasi yang substantif. Sehingga menurutnya Presiden perlu membentuk TGPF.
“TGPF untuk membantu menyelesaikan masalah penyiraman air keras kepada Novel Baswedan,” kata Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Besok Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Kapolri Tito Karnavian yang diketuai oleh Kabareskrim Komjen Pol Idham Aziz, akan mengumumkan hasil kinerjanya. Suparji memprediksi tidak jauh beda dengan hasil tim yang sebelumnya.
Pada 11 April 2017, Kapolri Tito Karnavian membentuk tim khusus untuk menangani kasus Novel Baswedan. Tim tersebut merupakan gabungan dari tim Polres Jakarta Utara, Polda Metro Jaya, dan Mabes Polri. Tito juga memerintahkan bawahannya untuk menjaga keamanan di kediaman Novel dan di rumah sakit tempat Novel dirawat.
Lalu pada 19 Juni 2017, Kapolri mengumumkan ditemukannya saksi kunci terkait kasus ini. Menurut dia, saksi kunci tersebut melihat langsung peristiwa penyiraman di depan masjid dekat rumah Novel. Saksi juga disebut mengetahui tipologi pelaku, seperti postur tubuh dan ciri fisik lainnya.
Namun, berbulan-bulan setelah pengumuman tersebut, pelaku penyerangan Novel belum juga terungkap. Hingga saat ini, polisi menyebut telah memeriksa 66 saksi. Polisi juga memeriksa empat orang yang diduga terlibat dalam penyiram tersebut. Namun, belakangan keempat orang tersebut dilepas.
Alasannya, berdasarkan keterangan para saksi, keempatnya memiliki ciri-ciri berbeda dengan pelaku dari rekaman kamera pemantau (CCTV).
Pada 24 November 2017, polisi merilis sketsa wajah terduga pelaku. Sketsa tersebut dirilis Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Aziz dalam jumpa pers di gedung KPK. Sketsa itu dibuat berdasarkan keterangan seorang saksi kunci yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Diduga, orang itu merupakan pengendara sepeda motor yang membonceng pelaku penyerangan terhadap Novel. Berdasarkan sketsa wajah tersebut, polisi meminta partisipasi masyarakat untuk melapor jika mengenali wajah tersebut dengan menghubungi nomor hotline 081398844474. Namun, hingga kini hasilnya nihil.
Hingga kini belum ada sikap resmi dari pihak istana atau dari Jokowi langsung mengenai desakan ini. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini menilai apabila Presiden Jokowi tidak membentuk TGPF Kasus Novel Baswedan, maka akan berdampak pada tidak mudahnya penyelesai kasus tersebut. Bahkan Suparji memprediksi kasus itu dihentikan.
“Ya belum ada penyidikaan kasus tersebut maka kan bisa saja SP3,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani, meminta semua pihak menunggu hasil penyelidikan tim yang dibentuk Kapolri mengingat deadlinenya sdh hampir habis. Ia juga percaya Polri sangat capable untuk mengungkap kasus ini.
Menurutnya, penting untuk mengungkap pelaku insiden penyerangan ini, utamanya untuk memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa di negara hukum ini pelaku tindak pidana kejahatan tidak bisa lolos begitu saja. Namun, ia menilai Presiden tidak perlu membentuk TGPF.
“Tidak perlu (TGPF). Kita percaya Polri bisa mengungkap,” kata Christina Aryani yang juga mantan advokat ini. (Joy)
Editor: Bobby