Jakarta, JurnalBabel.com – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan kembali posisinya sebagai oposisi alias di luar lingkaran pemerintah, sebagai usaha menjaga kepatuhan demokrasi.
“Sikap oposisi PKS adalah ijtihad politik untuk menjaga kepatutan dan kepantasan negara demokrasi,” ujar Presiden PKS Ahmad Syaikhu dalam pidato penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PKS, Rabu (2/2/2022).
PKS, kata Syaikhu, hendak menjadi kekuatan penyeimbang pemerintahan guna roda pemerintahan berjalan di atas jalur yang tepat. Pasalnya, ungkap dia, pemerintahan harus selalu diawasi dan dikontrol, karena tabiatnya menyimpang.
“Power must be checked, Power must be controlled. Kekuasaan harus diawasi, kekuasaan harus dikontrol. Karena tabiat kekuasaan memang akan cenderung menyimpang,” ungkapnya.
Anggota DPR RI Fraksi PKS ini juga menilai, demokrasi di Indonesia perlahan-lahan akan mati, bila tidak dikontrol oleh oposisi.
Menurutnya, untuk memastikan arah perjalanan pemerintah berada pada jalur yang benar sesuai konstitusi, maka dibutuhkan keberadaan parlemen yang kuat.
“DPR RI harus jadi penyambung lidah warga bukan menjadi penyambung lidah penguasa. DPR RI adalah kepanjangan tangan rakyat Indonesia bukan kepanjangan tangan penguasa. DPR RI bukan tukang stempel apa keinginan penguasa,” katanya.
Syaikhu mengaku sikap oposisi PKS mendapatkan dukungan dari luar parlemen.
“Sikap oposisi PKS di parlemen terbukti mendapatkan dukungan yang dari luar parlemen. Banyak sikap PKS mendapatkan pembenaran,” paparnya.
Contohnya saja sikap konsisten PKS yang menolak RUU Cipta Kerja dan mendapatkan dukungan dari Mahkamah Konstitusi.
“Sikap konsisten PKS menolak RUU Cipta Kerja membuahkan hasil dukungan dari Mahkamah Konstitusi bahwa UU tersebut adalah Inkonstitusional Bersyarat,” pungkasnya.
Sebagai informasi, pada Kamis, 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara pengujian formil Undang-Undang Cipta Kerja. Di persidangan pengujian formil di MK, yang diuji adalah proses pembentukan UU Cipta Kerja.
MK memutuskan bahwa pembentukan UU Cipta bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.
(Bie)