Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu menyebut, terdapat dua masalah utama dalam undang-undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan. Kedua masalah tersebut yakni UU Cipta Kerja yang cacat secara prosedur dan materil atau substansi.
“Secara prosedur UU Cipta Kerja ini tidak transparan, tidak sesuai dengan tata cara atau asas dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan yang baik sehingga cacat secara demokrasi,” kata Syaikhu dalam konsolidasi nasional dengan seluruh Ketua DPW PKS se-Indonesia secara daring, dikutip dari siaran pers, Minggu (11/10/2020).
Secara prosedur, kata Syaikhu, pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan tergesa-gesa. Hal tersebut tampak dari naskah rancangan UU (RUU) yang belum final sehingga belum bisa diakses publik tetapi sudah disahkan dalam paripurna.
“Pembahasan juga tidak memperhatikan dan tidak empati terhadap situasi krisis bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid-19,” ujarnya.
Sementara secara substansi, kata dia, UU Cipta Kerja juga memiliki beragam persoalan, antara lain memuat substansi liberalisasi sumber daya alam yang dapat mengancam kedaulatan negara. Hal tersebut tergambar melalui pemberian kemudahan pihak swasta dan asing dalam pembentukan Bank Tanah.
“Lalu memuat substansi pengaturan yang merugikan pekerja atau buruh Indonesia melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha,” tuturnya.
Pengaturan tersebut di antaranya soal pesangon yang memang tidak hilang, tetapi dikurangi dari semula 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji. Adapula aturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Anggota Komisi V DPR ini mencontohkan, pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai telah dihapus. Kemudian, partisipasi masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dikurangi, dan tidak dilibatkannya lagi pemerhati lingkungan.
“UU Cipta Kerja ini juga berpotensi membuka ruang untuk liberalisasi pendidikan. Kewenangan pemerintah untuk mengatur semua bidang pendidikan menjadi tidak terbatas,” ungkapnya.
Mantan Wali Kota Bekasi ini mengatakan, cacat substansi lainnya yang muncul dalam UU Cipta Kerja adalah soal pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi dan supremasi hukum.
Pasalnya, substansi pengawasannya dinilai telah menutup ruang pengawasan dan audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta memberikan imunitas bagi pengurus dan pejabat pengambil kebijakan.
“Terkait kedaulatan pangan, impor komoditas pertanian, peternakan, perkebunan termasuk pangan, pembukaan akses bagi kapal tangkap berbendera asing, tidak sejalan dengan kepentingan nasional dalam rangka pelindungan dan pemajuan petani, nelayan serta kedaulatan pangan,” jelasnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga dinilainya telah memberikan kewenangan sangat besar bagi pemerintah namun tak diimbangi dengan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap aspek penegakan hukum.
Adapun Fraksi PKS di DPR merupakan salah satu fraksi yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020). Selain PKS, yang menolak UU Cipta Kerja disahkan adalah Fraksi Partai Demokrat.
(Bie)