Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, meminta pemerintah perlu menertibkan kehadiran pihak ketiga atau debt collector/mata elang dalam hal penagihan hutang maupun kredit macet.
Hal itu menyusul keberadaan debt collector sudah sangat meresahkan masyarakat. Terbaru, dua peristiwa penagihan utang berujung kekerasan dan korban jiwa di Kalibata, Jakarta Selatan dan Depok, Jawa Barat, pada Desember 2025.
“Sudah kejadian-kejadian yang tidak membuat nyaman konsumen, masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu menertibkan kehadiran pihak ketiga dalam rangka membantu misalnya kredit yang macet,” kata Suparji di Jakarta, kemarin.
Menurut Suparji, institusi perbankan maupun lembaga pembiayaan tidak bisa diandalkan dalam hal penagihan hutang/kredit. Sebab itu, perlu pihak ketiga dengan pengaturan yang jelas agar mudah diawasi.
“Kalau hanya mengandalkan institusi perbankan atau lembaga pembiayaan itu saya kira tidak mudah. Maka perlu pihak ketiga,” ujarnya.
Pengaturan tentang penagihan hutang dengan menggunakan pihak ketiga sudah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Beberapa poin penting mengenai pembatasan penagihan yang diatur dalam POJK 22/2023 meliputi:
- Larangan Tindakan Intimidasi: Debt collector dilarang menagih utang dengan cara kekerasan, ancaman, intimidasi, atau tindakan yang mempermalukan konsumen, termasuk menyebarluaskan utang konsumen di media sosial atau kontak telepon.
- Waktu Penagihan Terbatas: Penagihan hanya boleh dilakukan pada hari Senin hingga Sabtu, di luar hari libur nasional, dan terbatas dari pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat. Penagihan di luar waktu dan tempat domisili tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan konsumen.
– Tanggung Jawab Penyelenggara: Perusahaan jasa keuangan wajib bertanggung jawab penuh atas seluruh proses penagihan, termasuk tindakan yang dilakukan oleh debt collector pihak ketiga.
Suparji menilai, POJK tersebut tidak cukup kuat untuk melindungi konsumen dan masyarakat. Sebab itu, katanya, perlu dituangkan lebih tinggi lagi produk hukumya. Apakah itu melalui Peraturan Presiden (Perpres) supaya memperolah kekuatan imperaktive. Bisa juga dengan memperkuat Undang-Undang (UU) terkait lembaga keuangan non Bank.
“Dalam UU-nya menurut saya diatur khusus tentang lembaga-lembaga pembiayaan itu, karena sekarang marak dan dibutuhkan masyarakat. Bagaimana leasing, hak guna usaha kan gitu perlu penguatan. Menurut saya perlu ditingkatkan menjadi UU supaya mendukung perekonomian,” jelasnya.
Oleh karena itu, Suparji tidak sepakat dengan adanya usulan menghapus debt collector. Ia lebih sepakat dibuatkan aturan yang tegas agar dapat mendukung perekonomian.
“Orang kredit mobil lalu nunggak, kalau diselesaikan melalui pengadilan tidak efektif juga. Tidak mudah menghapus debt collector,” pungkasnya.
