Jakarta, JurnalBabel.com – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Suparji Achmad, menyatakan penanganan kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) harus sesuai mekanisme hukum. Jika memang ada dugaan tindak pidana, maka penyelesaiannya juga harus sesuai hukum pidana.
“Penyelesaian kasus ACT harus sejalan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, obyektif dan tidak boleh melebar yang akhirnya menyebabkan bias,” kata Suparji dalam keterangan persnya, Kamis (7/7/2022).
Menurutnya, langkah Kementrian Sosial (Kemensos) mencabut izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) wajar dipertanyakan, termasuk oleh lembaga yang bersangkutan. Karena sebelum pencabutan itu dilakukan tak ada teguran terlebih dahulu.
“Seharusnya dilakukan terlebih dahulu kepada yayasan itu, jika memang terindikasi ada dugaan tindak pidana. Apabila belum ada tindak pidana, maka sebaiknya tidak gegabah,” paparnya.
Pencabutan tersebut, bisa saja menunggu dari pihak kepolisian terlebih dahulu. Bila sudah terang benderang ada pelanggaran yang dilakukan, maka bisa dicabut izin tersebut atau bahkan sampai pada pembubaran.
“Namun sekali lagi itu dilihat dari pelanggaran yang dilakukan. Jika hanya individu, maka tak perlu sampai pembubaran lembaganya, cukup pada per orangan yang melakukan tindak pidana itu,” terangnya.
Suparji juga berharap agar semua pihak menahan diri dan menyerahkan sepenuhnya kepada Aparat Penegak Hukum terkait. Ia meminta, masyarakat jangan lebih dulu menghakimi atau berspekulasi berlebihan terhadap lembaga tersebut.
“Kita sama-sama tunggu dulu hasil dari penegak hukum nantinya, jangan ikut memberikan statemen yang membuat penegakan hukum jadi kontra produktif. Pendalaman-pendalaman yang dilakukan perlu kita hargai,” jelasnya.
Di sisi lain, peristiwa ini menjadi pelajaran bagi lembaga lain yang bergerak di bidang serupa. Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini mengimbau agar lembaga-lembaga kemanusiaan bisa bertanggungjawab atas dana atau barang yang dikumpulkan.
“Pertanggungjawaban misalnya dengan transparansi soal dana yang keluar dan masuk. Progran yang dijalankan seperti apa, baik yang tidak terlaksana maupun terlaksana. Hal ini agar menjaga kepercayaan masyarakat dalam rangka membantu sesama,” pungkasnya.
Dugaan adanya penyelewengan dana di lembaga Aksi Cepat Tanggap awalnya diungkap oleh Majalah Tempo dalam edisi Sabtu, 2 Juli 2022. Dalam laporannya, mereka menyebutkan bahwa dana yang dihimpun dari masyarakat tersebut diantaranya digunakan untuk gaji besar dan fasilitas mewah para petingginya.
Setelah itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menduga ACT tidak hanya menghimpun dana donasi untuk disalurkan ke masyarakat. PPATK menduga uang donasi digunakan dahulu untuk keperluan bisnis.
“Jadi tidak murni menerima, menghimpun dana kemudian disalurkan, tapi kemudian dikelola dulu di dalam bisnis tertentu,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers di kantor PPATK, Jakarta, Rabu (6/6/2022).
Ivan mengatakan beberapa kegiatan bisnis yang diduga mendapatkan dana dari ACT merupakan milik pendirinya.
PPATK mendapati sejumlah yayasan lain di bawah ACT yang mengurus investasi. PPATK pun telah memblokir sejumlah rekening yang terkait dengan lembaga filantropi tersebut beserta yayasan yang terafiliasi.
(Bie)