Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi III DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan DPR RI, Mohamad Rano Alfath, menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tidak boleh ditafsirkan sebagai pelarangan mutlak (absolut) terhadap penugasan atau perbantuan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di luar struktur institusi kepolisian.
Menurut Rano, MK justru menekankan pentingnya penataan dan pembatasan kewenangan agar praktik penugasan tersebut dilakukan secara jelas, terukur, dan tidak menimbulkan tumpang tindih fungsi dengan lembaga lain.
“Putusan MK itu bukan soal boleh atau tidak bolehnya Polri diperbantukan. Yang ditekankan justru kejelasan status, rantai komando, dan pertanggungjawaban,” ujar Rano kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).
Rano menjelaskan, pertimbangan hukum MK berpangkal dari kedudukan Polri sebagai alat negara, sesuai amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang memberi mandat untuk menjaga keamanan, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Oleh karena itu, setiap norma yang membuka ruang penugasan anggota Polri di luar institusi harus dirumuskan secara tegas dan tidak menimbulkan ambiguitas kewenangan.
“MK ingin memastikan status kepegawaian anggota Polri tetap pasti, rantai komandonya tidak bercabang, dan fungsi penegakan hukumnya tidak bercampur dengan fungsi lain di luar mandat konstitusional,” jelas Rano.
Terkait Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025, Rano menilai regulasi tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK. Justru, Perpol itu dapat dipahami sebagai instrumen penataan administratif yang menjawab pesan Mahkamah Konstitusi.
Ia menjelaskan, Perpol 10/2025 mengatur mekanisme penugasan secara lebih tertib, mencakup:
Adanya permintaan resmi dari instansi pengguna. Pembatasan pada instansi yang relevan dengan fungsi kepolisian. Kewajiban seleksi dan uji kompetensi.
“Kalau dibaca secara utuh dan sistematis, Perpol ini justru sejalan dengan putusan MK. Intinya menutup celah-celah yang sebelumnya belum diatur secara rapi,” kata Rano.
Anggota Polri yang ditugaskan juga diwajibkan melepaskan jabatan struktural di internal Polri serta tunduk pada mekanisme evaluasi dan pengakhiran penugasan.
“Supaya penugasan Polri itu transparan, akuntabel, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan,” tambahnya.
Rano menegaskan, kebutuhan perbantuan Polri oleh lembaga negara bersifat kontekstual dan tidak dapat diseragamkan. Selama didasarkan pada kebutuhan institusional yang sah, memiliki dasar hukum yang jelas, serta berada dalam pengawasan ketat, perbantuan tersebut tetap berada dalam koridor konstitusional.
Dalam kesempatan yang sama, Rano juga menyinggung mekanisme pengangkatan Kapolri sebagai bagian dari agenda reformasi kepolisian.
Ia menegaskan bahwa Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara tegas mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
“Persetujuan DPR itu bukan untuk mengurangi hak prerogatif Presiden. Justru merupakan mekanisme konstitusional agar kekuasaan dalam institusi penegak hukum tetap terjaga akuntabilitasnya,” tegas Rano.
Sebagai Ketua Panja Reformasi, Rano berkomitmen Komisi III DPR RI akan terus mengawal implementasi Putusan MK, Perpol 10/2025, serta tata kelola kepemimpinan Polri agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan prinsip negara hukum.
“Reformasi kepolisian bukan soal memperluas atau meniadakan peran Polri secara ekstrem, tetapi menjaga batas kewenangan dan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab,” pungkasnya.
