Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Supriansa, menilai putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilu 2024 merusak tatanan demokrasi Indonesia.
Pasalnya, kata Supriansa, putusan tersebut melanggar ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 7 UUD NRI 1945 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Lalu Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.”
“Pada kedua pasal tersebut tegas membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif selama lima tahun dan mengamanatkan bahwa pemilu diselenggarakan dalam waktu lima tahun sekali. Hal ini adalah perintah konstitusi sehingga putusan pengadilan jelas tidak bisa dilaksanakan,” kata Supriansa dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/3/2023).
Sebelumnya, pada Kamis (2/3/2023) PN Jakpus dalam putusannya, memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024. Perintah ini berawal dari gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap KPU. Dilihat dari putusan No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, gugatan ini dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022.
Dalam putusan hakim menghukum tergugat atau KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Menurutnya, gugatan yang diajukan Partai Adil dan Makmur (Prima) merupakan gugatan perdata kepada KPU. Sehingga, yang perlu diselesaikan adalah hak keperdataan Partai Prima tersebut, yakni pada tahapan verifikasi administrasi dan verifikasi factual oleh KPU.
“Putusan PN Jakpus semestinya tidak berlaku umum dan mengikat semua pihak, sehingga tidak ada korelasinya dengan melakukan penundaan pemilu secara nasional,” jelasnya.
Selain itu, anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini menilai putusan PN Jakpus merupakan pelanggaran konstitusi dalam system pemilu. Utamanya melanggar UU Pemilu No 7 Tahun 2017 pasal 470 ayat (1) berbunyi “Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.”
Lalu Pasal 471 ayat (1) berbunyi “Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47O ke pengadilan tata usaha negara, dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467, Pasal 468, dan Pasal 469 ayat (2) telah digunakan.”
Berdasarkan hal tersebut, Supriansa menegaskan dalam sistem penegakan pemilu tidak dikenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.
“Hal tersebut harus diselesaikan melalui Bawaslu atau Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi apalagi sampai memerintahkan penundaan pemilu hingga 2025,” tegasnya.
Ketua Badan Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bakumham) Partai Golkar ini juga berpandangan PN Jakpus menyalahi sistem keadilan pemilu. Alhasil, kata dia, utusan ini tidak bisa dieksekusi (non-executable) karena telah menyimpang dari prinsip-prinsip konstitusionalitas pemilu.
Hal itu, papar dia, merujuk pada UU Pemilu No 7 Tahun 2017 pasal 432 yang berbunyi “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayat Negara Kesattran Republik Indonesia terjadi kenrsuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.”
“UU Pemilu mengenal pemilu susulan tetapi tidak ada klausul bahwa tahapan bisa ditunda karena adanya putusan PN, apalagi PN juga tidak berwenang apapun dalam desain penegakan dan penyelesaian masalah hukum pemilu di Indonesia,” pungkasnya. (Bie)