Jakarta, JurnalBabel.com – Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) mengumumkan rencana mengirimkan 600 ribu orang PMI ke Arab Saudi pasca moratorium kerja sama bilateral penempatan pekerja dengan negara tersebut dicabut.
Hal ini menimbulkan polemik di dalam negeri yang sedang terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, seperti yang menimpa 10 ribu lebih karyawan PT Sritex.
Alhasil, pengiriman PMI tersebut dinilai pemerintah mencari jalan pintas dengan tidak menyediakan lapangan kerja di dalam negeri.
Anggota Komisi IX DPR, Ashabul Kahfi, melihat rencana Kementerian P2MI tersebut sebagai keputusan yang perlu dikaji dengan cermat dari berbagai aspek.
Setidaknya, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menjabarkan ada tiga alasan mengapa pengiriman PMI ke Arab Saudi perlu dikaji ulang.
Pertama, pencabutan moratorium ini tentu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.
Ashabul mengungkapkan, selama moratorium berlangsung, banyak WNI yang kehilangan kesempatan bekerja secara legal di luar negeri, sehingga kebijakan ini bisa membuka peluang bagi mereka yang memang berminat dan memiliki keterampilan yang sesuai.
“Namun, yang lebih penting adalah memastikan bahwa hak-hak dan perlindungan para PMI ini benar-benar dijamin, baik saat mereka berada di negara tujuan maupun setelah kembali ke tanah air,” kata Ashabul Kahfi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/3/2025).
Kedua, Ashabul memahami kekhawatiran masyarakat terkait isu PHK massal di dalam negeri. Ia sepakat pemerintah harus mengedepankan langkah-langkah strategis untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
“Kebijakan mengirimkan PMI tidak boleh menjadi solusi jangka pendek semata, tetapi harus diiringi dengan upaya serius untuk mengembangkan sektor industri, UMKM, pertanian modern, dan digitalisasi ekonomi agar peluang kerja di Indonesia semakin luas,” terangnya.
Ketiga, Pemerintah juga harus memastikan bahwa PMI yang berangkat adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dan mendapatkan pelatihan yang memadai agar bisa bersaing di pasar kerja internasional.
“Sebagai anggota Komisi IX yang bermitra dengan Kementerian P2MI, kami menekankan bahwa kebijakan ini tidak boleh hanya berorientasi pada angka, melainkan harus berbasis pada perlindungan tenaga kerja dan peningkatan kualitas hidup mereka,” pungkas legislator asal dapil Sulawesi Selatan ini.