Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi V DPR, Anwar Hafid, menolak rencana pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengatur dan membedakan tarif penumpang kereta rel listrik (KRL) dan Commuter Line berdasarkan status ekonomi orang kaya dan miskin, agar pemberian subsidi tepat sasaran.
Anwar justru mengingatkan Pemerintah agar perspektif KRL dan Commuter Line dapat dikembalikan sebagai sebuah fasilitas publik yang memiliki tujuan untuk perbaikan lingkungan, kemacetan dan sebagainya.
“Karena itu perspektifnya mesti berfokus bahwa KRL dan commuter Line adalah fasilitas publik dengan tujuan perbaikan lingkungan, kemacetan dan sebagainya,” kata Anwar Hafid, Rabu,(4/1/2023).
Saat ini tarif asli KRL sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 untuk sekali perjalanan. Namun, pemerintah pusat mengalokasikan subsidi pada kebijakan tarif yang sudah berlaku sekitar 5 tahun terakhir itu. Allhasil, pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama, dan Rp 1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Menurut Anwar, jika perspektif pemerintah untuk penyelamatan lingkungan menaikkan tarif KRL ini, maka sedianya harus melakukan subsidi kepada tarif KRL secara keseluruhan.
“Bisa dengan memanfaatkan CSR korporasi. Bukan sekedar sarana transportasi biasa,” ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat ini menambahkan subsidi tanpa kelas diperlukan jika memang tujuan utama pemerintah ialah untuk mengurangi solusi kemacetan dan mengurangi polusi.
“Subsidi berlaku bagi siapa saja yang menggunakan moda transportasi tersebut. Kalau ini dilakukan, maka usaha kita mengalihkan masyarakat ke moda transportasi umum bisa berhasil,” pungkasnya. (Bie)