Restorative justice (RJ) dalam kaitan kasus korupsi tidak berdasar dan melanggar ketentuan UU Tipikor yang dengan tegas menyebutkan pengembalian uang tidak menghapuskan penuntutan pidana.
Memperhatikan Frasa pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.”
Sehingga penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi karena alasan telah mengembalikan kerugian negara merupakan alasan yang tidak tepat dan bertentangan dengan undang-undang apalagi dengan wacana di RJ.
Hal ini akan menjadi sarana berlindungnya koruptor serta menjadi ajang “sarana sistem pertahanan baru bagi koruptor” dan tentu ini adalah hal yang berbahaya dan tidak efektif.
Jadi bila diberlakukan penyelesaian kasus korupsi melalui RJ akan mendorong setiap orang yang punya kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, semua orang cenderung lebih berani korupsi dan menggunakan segala kesempatan serta sarana yang ada padanya sebab sanksinya korupsi dapat di RJ kan.
Ilustrasinya begini karena kejahatan korupsi hanya mengembalikan uang maka bagaimana jika yang korupsi dalam satu tahun ada ratusan ribu orang se Indonesia dan anggarannya pisah dengan nominal kecil (misal di bawah Rp100 juta).
Tentu akan berakibat pada kerugian dan dampak bagi pelayanan masyarakat, rakyat menjadi pihak yang dirugikan karena uang atau pajak yang dibayar untuk tujuan pembangunan, justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi oknum pejabat sehingga pembangunan jadi terhambat termasuk mengganggu keuangan negara.
Jadi usul Pendapat dan konsep RJ untuk tindak pidana korupsi sekalipun dengan nilai Rp100 juta atau berdalih nominal kecil. Hal ini tidak dapat dikompromikan atau diabaikan karena efeknya justru lebih merusak dan berkontribusi bagi pelaku untuk lebih berani melakukan korupsi besar jika dilihat dampaknya secara menyeluruh.
Jadi RJ untuk tindak pidana korupsi tidak bisa dioperasionalkan mengingat karakteristik kejahatan korupsi dan pelakunya adalah orang yang punya jabatan, kekuasaan sehingga semestinya pelaku ini dikenakan sanksi pemberatan pidana bukan pula dengan memberikan aturan perlindungan bagi koruptor yang cukup dengan pengembalian kerugian semata.
Dengan demikian tidak ada kompromi bagi pelaku koruptor, karena pelaku melakukan dengan sengaja dan sadar melanggar kewajiban hukum jabatannya karenanya bagi pelakunya perlu diusut tuntas dan pertanggungjawaban pidana bagi setiap oknum pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi.
Azmi Syahputra
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti