Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR, Supriyanto, menyoroti ketimpangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah terkait kebutuhan aparatur sipil negara (ASN) atau birokrasi.
Ia mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan kebijakan kepegawaian berbeda dengan realita di lapangan. Pemerintah pusat menghitung anggaran kebutuhan untuk kebutuhan birokrasi di daerah maupun di pusat.
Faktanya, ungkap dia, di daerah kekurangan ASN yang tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah pusat. Alhasil, pemerintah daerah mengangkat tenaga honorer.
Sebab itu, politisi Partai Gerindra ini menginginkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN atau RUU ASN yang sedang di bahas Komisi II DPR bersama Pemerintah, menyesuaikan hal tersebut.
“Misalkan kebutuhan daerah. Disitu harus ada jaminan ketika honorer dibutuhkan, maka harus ada jaminan kesejahteraan,” kata Supriyanto secara virtual dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panja RUU ASN dengan pakar, Selasa (29/6/2021).
“Minimal sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten atau Provinsi yang ada. Sehingga tenaga honorer diperhatikan oleh Pemerintah,” lanjutnya.
Supriyanto mengakui masalah birokrasi atau ASN di Indonesia terkait ruang fiskal yang sempit. Alhasil, para ASN kesulitan mengimplementasikan ide-idenya.
“Yang menjadi problem di birokrasi kita ruang fiskalnya, jumlah pegawainya, ASN, berikut APBN masih kurang sebanding. Artinya, ruang fiskal kita masih kurang. Oleh karena itu, ASN atau birokrasi masih alami kesulitan improvisasi ide-idenya. Mungkin kepala daerahnya terhambat ruang fiskal yang ada, sehingga inovasinya kurang berjalan,” paparnya.
Legislator asal Jawa Timur ini membandingkan dengan Singapura dan negara-negara maju lainnya yang ruang fiskal untuk ASN begitu longgar. Sehingga birokrasi bisa dituntut improvisasinya.
“Ini persoalan yang terjadi dikemudian,” katanya. (Bie)