Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah sudah menyerahkan draft dan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR beberapa waktu lalu. RUU ini juga masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.
Namun berbagai kalangan menolak RUU Cipta Kerja dibahas ditengah pandemi Covid-19.
Sayangnya penolakan tersebut diabaikan, dimana Badan Legislasi (Baleg) DPR akan membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja. Setelah sebelumnya rapat Paripurna DPR belum lama ini membacakan masuknya draft dan naskah akademik RUU Cipta Kerja dari Pemerintah.
Baleg DPR pun belum lama ini sudah mengadakan rapat pleno dengan pemerintah untuk membahas RUU inisiatif pemerintah ini. Rapat tersebut belum sampai pada tahap pembahasan substansi, melainkan masih pada tahap persiapan pembahasan.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso, menyatakan fraksinya di DPR menolak ikut membahas RUU Cipta Kerja karena seharusnya semua pihak konsentrasi pada penanganan Covid-19. Belum lagi, RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukan seperti UU yang lain karena ini berdampak kepada banyak hal. Misalnya, UKMN, buruh, koperasi, pekerja dan investor.
“Dalam situasi terpurukan ekonomi gara-gara Covid-19, jangan buru-buru lah,” ujar Santoso saat dihubungi, Selasa (21/4/2020).
Lebih lanjut Santoso mengatakan RUU Cipta Kerja di bahas saat ini itu rencana dalam suasana normal, dimana bisa menjaring investasi untuk kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Apakah bisa situasi seperti itu, Buruh, UMKM terdampak akibat Covid-19 ini. Ini yang belum bisa diselesaikan lahirnya omnibus law ini. Ini kan percepatan berarti banyak hal yang dipangkas,” katanya.
Anggota Komisi III DPR ini juga mengatakan bahwa pihaknya mengirim nama ke Panja hanya sebatas diminta atau persyaratan. Namun anggotanya di Panja tidak ikut pembahasan karena lebih fokus penanganan Covid-19.
“Kita hanya dipenuhi mengikuti prosedural tahapan misal kirim nama Panja. Kita khawatir kalau tidak kirim nama ke Panja, saat pembahasan lanjutan kita tidak bisa mewarnai kasih masukan,” jelasnya.
Legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta ini menambahkan politik ini kalau sudah kemauan rezim, bukan bicara benar atau salah. Tapi siapa yang paling banyak nanti dia yang golkan dan memenangkan RUU itu menjadi UU, meski ada ruang MK untuk menggugatnya.
“Tapi ingat MK cuma bicara pasal, bukan membatalkan secara keseluruhan,” katanya.
Mantan anggota DPRD DKI Jakarta ini menegaskan pihaknya tidak mau seperti Fraksi PKS yang tidak mengirimkan nama ke Panja. “Artinya kita tidak mau ketinggalan sama sekali, sehingga tidak berkontribusi positif terhadap RUU yang disahkan,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Hendrik Lewerissa, mengakui RUU ini menimbulkan beragam reaksi di publik. Ada yang menolak ada yang sebagian memahami.
“Sebagian besar publik menginginkan konsentrasi ke Covid-19, jangan bahas RUU ini, apalagi RUU ini kontroversi di masyarakat. Tapi bukan berarti DPR tidur saja kan. DPR harus tetap jalankan fungsi legislasi,” kata Hendrik Lewerissa.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini juga menghormati sikap Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat yang menolak membahas RUU ini.
Namun ketika ditanya apakah tetap target pembahasan RUU ini dapat diselesaikan sesuai dengan permintaan Presiden Jokowi selama 100 hari selesai, anggota komisi VI DPR ini mengatakan “jadwal fleksibel bisa berubah,” pungkasnya.
Tolak Perppu Covid-19
Santoso juga mengungkapkan bahwa partainya juga menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perppu yang dikeluarkan pada akhir Maret lalu ini dinilai Santoso banyak melabrak ketentuan peraturan perundang-undangan dan kontroversi karena memberikan absolut kekuasaan pada pemerintah untuk melakukan apa saja yang tidak ada tuntutan hukum. “Demokrat tolak Perppu ini,” tegasnya.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Yayasan Mega Bintang 1997, LP3HI, KEMAKI dan LBH PEKA, telah mengajukan permohonan uji materi atau judicial review atas Perppu itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/4/2020). Dalam permohonannya, MAKI meminta pasal 27 pada Perppu tersebut, yang terkait imunitas aparat pemerintahan dari tuntutan perdata dan pidana saat melaksanakan aturan, agar dibatalkan.
Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020 berbunyi:
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. (Bie)
Editor: Bobby